Kemudian Juliana menuturkan, jika melihat dengan evolusi dari kolaborasi antara manusia dan AI, sebenarnya kecerdasan buatan itu bukan sesuatu yang baru. Padahal sudah sempat dibicarakan sejak lama terkait pembelajaran mesin (machine learning) hingga deep learning atau jenis machine learning yang menggunakan struktur jaringan saraf tiruan dengan banyak lapisan untuk memproses dan menganalisis data.
"Tapi baru beberapa tahun terakhir semenjak gen AI-nya heboh gitu lah ya. Nah itu mulai lah, jadi orang mulai, bisa dibilang, adopsinya makin lebih cepat dan lebih banyak," kata dia.
Menurut salah satu data, urai Juliana, perkembangan AI ini diprediksi bakal mengantikan pekerjaan manusia pada 2030 mendatang. Misalnya beberapa pekerjaan repetitif yang mungkin memerlukan banyak sumber, waktu, dan orang akan tergantikan, karena kecerdasan buatan bisa melakukannya dengan cepat.
Tak hanya itu, dia mengatakan agen AI (agentic AI) diperkirakan pada 2030 bakal berkontribusi sekitar 12% atau setara dengan US$366 miliar (Rp6.077 triliun dengan asumsi kurs Rp16.605/US$) terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Bahkan beberapa riset pun mengatakan potensi ini merupakan kolaborasi yang akan menjadi perkembangan dari kecerdasan buatan.
"Nah, tentu saja kalau kita lihat tadi opportunity-nya besar sekali, tapi kita juga aware bahwasanya ada banyak hal yang juga menjadi concern tentang perkembangan AI yang cepat ini," ujar Juliana.
(far/wep)

































