Ancaman tarif 100% dari Trump disebut “tidak lagi berlaku”, sementara Beijing akan menangguhkan selama satu tahun rencana untuk memperluas kontrol ekspor logam tanah jarang, menurut Menteri Keuangan AS Scott Bessent.
Tembaga mencatat rekor tertinggi US$11.104,5 per ton pada Mei tahun lalu dan kembali menembus level US$11.000 awal bulan ini.
Namun sejak itu pergerakannya berfluktuasi seiring Washington dan Beijing mengambil posisi keras menjelang perundingan dagang.
Kinerja kuat logam merah ini sepanjang tahun, naik sekitar 25% di LME, banyak ditopang oleh serangkaian gangguan pasokan di negara-negara produsen utama.
Freeport-McMoRan Inc. memangkas proyeksi penjualan tembaganya pada September setelah terjadi kecelakaan fatal di tambang raksasa Grasberg di Indonesia.
Sementara itu, tambang Kamoa-Kakula milik Ivanhoe Mines Ltd. di Republik Demokratik Kongo juga mengalami hambatan produksi yang signifikan.
Pelemahan dolar AS tahun ini turut memberi dorongan tambahan bagi harga logam, karena membuat komoditas yang dinilai dalam dolar menjadi lebih menarik.
Indeks dolar turun lebih dari 7% sejak Januari, seiring meningkatnya ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan kembali memangkas suku bunga.
Harga tembaga juga mencerminkan optimisme lebih luas terkait transisi energi global.
BHP Group, perusahaan tambang terbesar di dunia, memperkirakan permintaan tembaga global akan meningkat sekitar 70% hingga tahun 2050, dan menjadikan logam tersebut sebagai fokus utama pertumbuhan perusahaan.
Pada pukul 09.24 waktu Shanghai, harga tembaga naik 0,7% menjadi US$11.034 per ton di LME. Aluminium naik 0,5% dan menuju penutupan tertinggi dalam lebih dari tiga tahun, sementara seng menguat 0,3%. Di bursa Comex New York, harga tembaga naik 1,3%.
(bbn)
































