"Konteks global diperkirakan akan tetap volatil, kompleks, dan tak terduga, seiring meningkatnya persaingan strategis antarnegara berkekuatan besar dan risiko geopolitik, serta proteksionisme perdagangan," imbuhnya.
Vietnam berusaha mendiversifikasi pasar ekspornya, selagi para negosiatornya membahas ketentuan-ketentuan perjanjian dagang dengan AS. Meski tarif awal yang diancam sebesar 46% telah berkurang menjadi 20%, AS juga menetapkan tarif 40% untuk barang yang dianggap transit melalui negara Asia Tenggara tersebut. Hal ini menciptakan ketidakpastian tambahan bagi bisnis, sedangkan detailnya masih belum jelas.
Menurut Chinh, negara eksportir utama, yang tahun lalu mengalami surplus terbesar ketiga di dunia dengan AS, ini sedang mencari mitra dagang baru dan berencana menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan kawasan-kawasan, seperti Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Pakistan.
Pemerintah, lanjut Chinh, akan menghilangkan hambatan dalam pengembangan proyek-proyek utama, termasuk di sektor energi terbarukan dan industri. Saat ini ada sekitar 3.000 proyek yang sedang ditinjau pemerintah, dan dia mendesak pihak berwenang mempercepat prosesnya.
Pemerintah juga akan memprioritaskan menarik proyek-proyek investasi asing yang sejalan dengan transfer teknologi canggih dan berencana memulai konstruksi pabrik semikonduktor tahun depan, kata Chinh, tanpa menjelaskan jenis pabrik yang akan dibangun.
Meski ada ketidakpastian tarif, daya tarik Vietnam sebagai basis produksi dan perakitan alternatif bagi China terus menarik perusahaan-perusahaan asing. Investasi langsung asing yang disalurkan mencapai US$18,8 miliar pada sembilan bulan pertama 2025, melejit 8,5% dibandingkan tahun lalu.
Ketergantungan yang terlalu besar pada investasi asing dapat membahayakan daya saing jangka panjang negara ini, kata Mai, yang menekankan perlunya perusahaan-perusahaan lokal unggulan untuk meningkatkan tingkat lokalisasi, yang saat ini hanya sekitar 36,6%.
(bbn)































