“Ada 120 perusahaan dan konsorsium yang ingin bidding hanya untuk 10 proyek pertama, jadi ini massive demand,” kata Pandu.
Adapun, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken beleid anyar yang mengatur soal pengolahan sampah perkotaan menjadi PLTSa atau dikenal dengan nama program waste to energy (WtE) alias Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, yang diteken pada 10 Oktober 2025.
Melalui beleid ini, pemerintah menetapkan tarif listrik sebesar US$0,20 per kilowatt hour (kWh) yang wajib dibeli oleh PT PLN (Persero) dari pengembang pembangkit listrik tenaga sampah atau independent power producer (IPP).
Tarif tersebut bersifat tetap, tanpa negosiasi maupun eskalasi harga selama masa perjanjian jual beli listrik (PJBL).
Beleid ini juga menghapus ketentuan penalti atau denda (take-and-pay) yang biasanya berlaku bagi proyek pembangkit lain.
Dengan demikian, pengembang PLTSa tidak akan dikenai sanksi apabila kapasitas listrik yang disepakati dalam PJBL tidak tercapai akibat faktor di luar kendali mereka, seperti kendala teknis atau pasokan sampah yang tidak mencukupi dari pemerintah daerah.
Selain itu, PLN diwajibkan memprioritaskan penyerapan listrik dari pembangkit sampah ke dalam jaringan (must dispatched), sesuai jumlah energi yang dikontrak setiap tahun.
Adapun masa berlaku PJBL ditetapkan selama 30 tahun, dihitung sejak proyek mencapai tahap operasi komersial atau commercial operation date (COD).
Pemerintah juga menjamin adanya kompensasi bagi PLN atas penugasan membeli listrik dari PLTSa, termasuk untuk biaya pengembangan jaringan.
Kompensasi tersebut dapat diberikan bila kewajiban penyerapan listrik dari pembangkit sampah berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN.
-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(art/wdh)
































