Logo Bloomberg Technoz

“Alih-alih melakukan evaluasi dan pemerataan distribusi dari kelebiham pasokan listrik, pemerintah justru terus menambah proyek PLTU baru bagi kebutuhan industri melalui skema take or pay,” kata Bhima.

Situasi itu lantas mengakibatkan beban finansial besar bagi negara dan masyarakat. PLN pun dipaksa menanggung capacity payment bernilai triliunan rupiah setiap tahun.

“Sebuah mekanisme yang memastikan keuntungan bagi korporasi, sementara kerugiannya ditanggung publik melalui subsidi dan potensi kenaikan tarif listrik,” kata dia.

Lebih lanjut, Bhima mengatakan proyek PLTU di Mempawah tersebut sejak awal sudah menuai kritik akibat minimnya transparansi dalam proses pengadaan.

Adapun, proyek ini menjadi bagian dari tahap awal program percepatan listrik 10.000 megawatt (MW) yang didorong pemerintah. Dalam perkembangannya, kasus korupsi di PLTU tersebut menyeret bekas Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar dan adik wakil presiden ke-10  12 Jusuf Kalla (JK) Halim Kalla.

Peneliti Celios Attina Rizqiana menambahkan kasus PLTU-1 Mempawah menunjukkan pembangunan pembangkit bukan lagi soal kebutuhan energi yang terjangkau untuk masyarakat.

“Kondisi oversupply justru dijadikan alasan untuk menunda integrasi energi terbarukan di Kalimantan, sehingga memperpanjang ketergantungan batu bara, dan menghambat terwujudnya transisi energi,” kata Kiki.

Momentum Perbaikan

Attina menambahkan kasus rasuah pembangkit di Mempawah itu mestinya menjadi momentum untuk dapat memperbaiki arah kebijakan energi nasional.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034, pemerintah masih ingin membangun 6,3 gigawatt (GW) pembangkit batu bara.

“Kami mengkhawatirkan dorongan pembangkit batu bara hanyalah cara pasokan batu bara yang berkurang permintaan ekspornya, dialihkan ke pasar domestik agar terserap,” tuturnya.

Sebelumnya, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kepolisian atau Kortas Tipikor Polri tengah menelusuri daftar aset dari orang-orang yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat.

Penyidik Kortastipidkor Polri menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (Dok. Humas Polri)

Mereka mengklaim berupaya memulihkan kerugian negara dalam kasus tersebut yang mencapai Rp1,3 triliun.

"Kami juga berjalan untuk penelusuran aset terhadap para pihak. Ada beberapa yang sudah kami dapatkan, mungkin nanti kami akan rilis kemudian," kata Kepala Kortas Tipikor Polri Inspektur Jenderal Cahyono Wibowo awal pekan ini.

Penyidik menemukan informasi sejumlah aliran dana dari proyek pembangunan PLTU di Desa Jungkat, Siantan, Mempawah, Kalimantan Barat. Pada saat ini, Kortas Tipikor pun telah menetapkan empat orang tersangka.

Mereka adalah Direktur Utama PT PLN (Persero) 2008—2009 Fahmi Mochtar; adik Jusuf Kalla dan juga Komisaris Utama PT Bumi Rama Nusantara (BRN) Halim Kalla; Direktur Utama PT BRN berinisial RR; dan Direktur Utama PT Praba Indo Persada berinisial HYL.

Kasus ini berawal saat PLN mengkondisikan KSO BRN sebagai pemenang proyek pembangunan PLTU Kalbar berkapasitas 2x50 MW yang memakan anggaran Rp1,2 triliun pada 2008. 

Berdasarkan penyidikan, BRN ternyata menyerahkan proyek tersebut atau melakukan subkontraktor kepada PT Praba Indo Persada yang sama sekali tak memiliki kemampuan dan pengalaman mengerjakan proyek PLTU. Bahkan, penyidik menerima informasi kalau KSO BRN sebenarnya juga tak melibatkan Alton dan OJSC.

Proyek ini bermasalah usai terjadi amandemen kontrak hingga 10 kali hingga Desember 2018. Secara faktual, BRN dan Praba pun telah berhenti melakukan pembangunan pada 2016.

Saat ini, bangunan dan sejumlah mesin yang telah terpasang telah terbengkalai atau mangkrak.

Beberapa mesin dalam kondisi rusak karena ada batas usia dan perlu mendapatkan perawatan rutin. Di sisi lain, lokasi bangunan di sisi laut membuat sejumlah mesin dan konstruksi bangunan mengalami korosi hingga rentan roboh.

Fakta bahwa proyek ini sama sekali tak bisa digunakan membuat Kortas Polri pun memperkirakan kerugian negara yang terjadi maksimal atau total. PLN pun diketahui sudah membayar kepada KSO BRN sebesar US$62,4 juta dan Rp323 miliar.

(naw/wdh)

No more pages