Kargo pertama tiba di Tanah Air pada Rabu (24/9/2025), sedangkan yang kedua datang sepekan kemudian pada Kamis (2/10/2025).
“Benar ada sedikit pemborosan, tetapi kecil jika dibandingkan dengan total volume [impor] BBM secara nasional,” kata Yusri ketika dihubungi, Rabu (8/10/2025).
“Dua kargo itu kan di luar rencana, biasanya trader di Singapura menaikkan harga Mean of Platts Singapore [MOPS] antara US$1 hingga US$2 per barel,” terangnya.
Di sisi lain, Yusri menjelaskan bahwa kontrak impor BBM Pertamina biasanya dilakukan dua bulan sebelum waktu pasokan yang direncanakan.
Dengan demikian, kebutuhan November 2025 akan ditenderkan pada September 2025 dan kebutuhan Desember 2025 pada Oktober 2025.
Yusri mengamini Pertamina memang bisa menggunakan sendiri pasokan BBM dasaran yang batal dibeli operator SPBU swasta tersebut. Namun, BBM dasaran yang diimpor tersebut memiliki harga yang lebih mahal dari impor terencana.
“Jadi stok base fuel juga cepat terpakai oleh Pertamina,” ungkap Yusri.
Hampir Rp300 M
Lain sisi, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memprediksi pemborosan PT Pertamina (Persero), akibat impor BBM dasaran atau base fuel sejumlah 200.000 barel tidak laku terjual ke operator SPBU swasta, mencapai ratusan miliar rupiah.
Manajer Riset FITRA Badiul Hadi mengalkulasikan stok base fuel yang tidak terserap SPBU swasta—dan malah dipakai sendiri oleh PPN — tersebut membuat adanya dana Pertamina yang tertahan, sebab belum ada keuntungan yang didapatkan, padahal perseroan telah mengeluarkan biaya untuk impor.
Dengan asumsi harga BBM dasaran yang diimpor PPN berada di angka US$90/barel dan terdapat 200.000 barel yang tak terjual, Badiul mengestimasikan setidaknya terdapat US$18 juta (atau sekitar Rp298 miliar asumsi kurs saat ini) dana Pertamina yang mengendap dan berpotensi menjadi pemborosan.
“Carrying cost di mana akan terjadi idle stock artinya ada dana perusahan yang tertahan pada saat belum menghasilkan. Dengan asumsi harga base fuel [yang diimpor Pertamina] di kisaran US$90/barel, berarti setidaknya ada dana sekitar US$18 juta mengendap,” kata Badiul ketika dihubungi, Selasa (7/10/2025).
Ongkos Tambahan
Belum lagi, Badiul menilai BBM dasaran impor yang tidak terserap tersebut juga akan memunculkan pembiayaan baru di Pertamina untuk ongkos penyimpanan dan logistik.
Dia menjelaskan base fuel yang tidak terdistribusi ke badan usaha (BU) hilir migas swasta tersebut harus ditampung dalam tangki penyimpanan yang membutuhkan biaya pengelolaan lebih. Apalagi, terdapat potensi terjadinya evaporasi atau penyusutan volume dari base fuel tersebut.
Selain itu, dia juga memandang terdapat risiko penurunan kualitas BBM dasaran jika disimpan dalam jangka waktu lama dan tidak segera dibaurkan dengan aditif dan pewarna.
“Adanya potensi depresiasi, base fuel memiliki batas waktu optimal untuk digunakan dalam blending BBM. Ini memerlukan biaya reprocessing,” tegas dia.
Badiul menilai Pertamina sebenarnya tidak memerlukan tambahan impor BBM, apalagi BBM dasaran, sampai akhir tahun ini. Penyebabnya, lanjut dia, perusahaan pelat merah itu masih memiliki pasokan BBM yang mencukupi sesuai standar nasional.
Ketika stok BBM yang dimiliki Pertamina telah mencukupi untuk memasok kebutuhan nasional hingga akhir tahun ini, maka keputusan menggunakan sendiri BBM dasaran yang diimpor tersebut justru menimbulkan inefisiensi dalam bisnis Pertamina Patra Niaga.
“Sebagai perusahaan BUMN, tiap keputusan impor mestinya berbasis justifiable needs dan economic rationale. Bila hasil akhirnya stok menumpuk dan tidak terserap, maka keputusan ini patut dievaluasi karena berimplikasi pada efisiensi keuangan negara,” ungkap Badiul.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Pertamina Roberth Dumatubun mengonfirmasi impor base fuel tahap kedua dengan volume sebanyak 100.000 barel kembali tidak dibeli pengelola jaringan SPBU swasta.
"Belum ada sampai saat ini follow up kesepakatan," ujar Roberth saat dimintai konfirmasi, Sabtu (4/10/2025).
Roberth mengatakan kapal kargo kedua yang didatangkan oleh Pertamina dan tiba di Indonesia medio pekan lalu tersebut lagi-lagi akan dimanfaatkan oleh Pertamina untuk operasi SPBU milik perusahaan migas pelat merah itu.
"Maka kargo yang datang adalah kargo reguler Pertamina dan digunakan Pertamina untuk pemenuhan konsumen pengguna produk Pertamina," tegasnya.
Upaya impor base fuel yang dilakukan Pertamina berujung penolakan operator SPBU swasta dengan berbagai alasan; mulai dari ditolak Vivo akibat adanya kandungan etanol 3,5% hingga disoal BP-AKR imbas ketiadaan dokumen certificate of origin.
Adapun, lima operator SPBU swasta yang terlibat dalam proses negosiasi B2B dengan Pertamina a.l. PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR), PT Vivo Energy Indonesia (Vivo), PT ExxonMobil Lubricants Indonesia (Mobil), PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA), dan PT Shell Indonesia (Shell).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Pertamina Patra Niaga masih memiliki sisa kuota impor sebesar 34% atau sekitar 7,52 juta kiloliter (kl) untuk 2025. Terkait itu, Kementerian ESDM sebelumnya telah memastikan bahwa pasokan BBM Pertamina mencukupi untuk menyuplai kebutuhan operator SPBU swasta.
Sementara itu, Pertamina Patra Niaga menyebut operator SPBU swasta membutuhkan tambahan pasokan BBM dengan RON 92 sebanyak 1,2 juta barel base fuel, serta RON 98 sejumlah 270.000 barel base fuel untuk mencukupi kebutuhan hingga akhir tahun ini.
(azr/wdh)




























