Rupiah yang berbalik menguat menjadi valuta Asia dengan penguatan terbanyak ketiga di Asia.
Sementara Bursa Saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pagi tadi dibuka menguat, terus melesat di zona bullish dengan penguatan mencapai 0,7% hingga berhasil pecah rekor tertinggi baru intraday 8.217 All Time High.
Melesatnya IHSG di zona hijau melanjutkan reli yang telah berlangsung selama empat hari penguatan perdagangan tanpa putus.
Berdasarkan data Bloomberg, saham–saham Prajogo Pangestu jadi penggerak indeks, saham CUAN, CDIA, BRPT, BREN, COIN, hingga saham PTRO.
Penguatan IHSG pada perdagangan hari ini berlangsung bersamaan dengan sebagian besar Bursa Asia yang sama melesat dan menguat seperti Taiwan TAIEX, SETI Thailand, FTSE Straits Times Singapore, NIKKEI 225, PSEi - Philippine, TOPIX, dan SENSEX India.
Adapun harga Surat Utang Pemerintah, terus melanjutkan reli kenaikan harga, yang tercermin dari penurunan yield.
Berdasarkan data real time OTC Bloomberg, Mayoritas tenor menunjukkan penurunan yield, adapun imbal hasil 2 tahun turun 1,2 basis poin (bps) ke level 4,953%. Sementara tenor 5 tahun turun 1,4 bps saat ini ada di level 5,449%.
Tenor lebih panjang, 10Y mengalami penurunan imbal hasil 2,4 bps di level 6,271%. Bersama yield 15Y turun 4,2 di level 6,696%.
Masih Memadai
Bank Indonesia menjelaskan, biarpun terjadi penurunan posisi cadev pada September, nilai saat ini masih memadai karena setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Ke depan, Bank Indonesia meyakini ketahanan sektor eksternal tetap kuat sejalan dengan prospek ekspor yang tetap terjaga serta neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus sejalan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik dan imbal hasil investasi yang tetap menarik,” sebut laporan BI.
Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pengaruhi Arah Kebijakan Moneter
Cadangan devisa Indonesia yang terus menyusut terbut, terlebih dalam 3 bulan beruntun. Ini bisa mempengaruhi arah kebijakan moneter.
“Ini menjadi kali pertama cadangan devisa Indonesia berada di bawah US$ 150 miliar sejak September tahun lalu. Ini karena intervensi BI yang begitu intensif untuk stabilisasi nilai tukar,” papar riset Bank of America, mengutip Bloomberg News.
Penurunan cadangan devisa bisa membuat BI mempertimbangkan kembali kecepatan penurunan suku bunga acuan. Apalagi sepanjang tahun ini Bank Sentral Indonesia sudah menurunkan BI Rate sebanyak lima kali, masing-masing 25 basis poin (bps).
“Kami melihat BI mungkin tidak akan menurunkan suku bunga acuan 50 bps lagi tahun ini. Akan tetapi, penurunan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps bisa saja terjadi,” terang Bank of America.
Kendatipun begitu, Bank of America menilai siklus pelonggaran moneter belum selesai. Tahun depan, penurunan BI Rate bisa kembali ditempuh.
“Kami memperkirakan BI menurunkan suku bunga acuan 75 bps pada kuartal I-2026, sehingga BI Rate menjadi 4%. Namun kecepatan penurunan suku bunga akan tergantung oleh stabilitas nilai tukar rupiah,” demikian riset Bank of America.
(fad/hps)






























