Syafruddin menyatakan hal tersebut berpotensi memicu kelangkaan musiman, sehingga pedagang eceran kerap menaikkan harga untuk menutup risiko kehabisan stok.
Transparansi Minim
Dia turut mengkritik pemerintah yang kerap tidak transparan menginformasikan harga resmi LPG 3 Kg bersubsidi tersebut.
Hal tersebut membuat sebagian masyarakat membeli LPG 3 Kg dengan harga yang cukup tinggi dan sangat jauh dari harga eceran tertinggi (HET).
“Di beberapa daerah, lemahnya pengawasan, transparansi harga yang minim, dan informasi HET yang tidak tercantum jelas pada titik jual membuat konsumen menerima harga apa adanya,” tegas Syafruddin.
Di sisi lain, Syafruddin menilai terdapat sejumlah praktik yang memaksa pedagang eceran menaikkan harga LPG bersubsidi tersebut.
Antara lain; LPG bersubsidi masih kerap digunakan oleh rumah tangga mampu dan usaha nonprioritas, serta kerap ditarik sementara oleh pedagang untuk dijual kembali saat harg melonjak.
“Gangguan pada sistem pendataan NIK [nomor induk kependudukan], keterlambatan pasokan, atau kekurangan tabung layak pakai ikut memperlebar selisih antara HET pangkalan dan harga riil di tingkat akhir,” ungkap Syafruddin.
Selaras HET
Menurut Syafruddin, pemerintah dapat menutup celah penggelembungan harga pada tahapan distribusi LPG 3 Kg dengan memastikan sistem pembelian LPG 3 Kg berbasis NIK diterapkan secara tegas di pangkalan penjualan LPG.
Selanjutnya, dia juga menyarankan pemerintah untuk menetapkan batas kuota pembelian LPG 3 Kg per kartu keluarga (KK) pada setiap bulannya.
Akan tetapi, kuota tersebut harus mengecualikan secara terukur untuk pelaku usaha kecil dan mikro, nelayan, serta petani.
“Terapkan pelaporan stok harian berbasis aplikasi dengan geotagging pada agen dan pangkalan, lengkapi mystery shopper serta sanksi progresif bagi penjual yang memasarkan di atas ketentuan tanpa dasar biaya resmi,” Syafruddin menyarankan.
Untuk wilayah terpencil, Syafruddin memandang pemerintah bisa memberikan kompensasi terhadap biaya logistik yang timbul secara terstruktur agar biaya distribusi tak dibebankan ke konsumen.
Dia juga mendesak agar HET LPG 3 Kg dicantumkan pada titik-titik penjualan resmi ‘Gas Melon’ tersebut.
Selain itu, Syafruddin menilai pemerintah bisa mengimplementasikan rencana pemadanan NIK dengan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), di mana sebelumnya terdapat rencana bahwa hanya masyarakat yang terdaftar dalam DTSEN yang dapat membeli LPG bersubsidi.
“Lakukan verifikasi berkala, serta rilis dashboard keterbukaan harga dan ketersediaan per kecamatan,” kata dia.
“Kombinasi kebijakan ini mengunci manfaat subsidi pada kelompok sasaran, menjaga harga riil mendekati HET, dan memulihkan kepercayaan konsumen,” sambung Syafruddin.
Untuk diketahui, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya memaparkan harga keekonomian LPG 3 Kg senilai Rp42.750/tabung.
Nominal tersebut berada jauh di atas harga yang diterima masyarakat setelah kedua komoditas energi tersebut ditopang oleh anggaran kompensasi dan subsidi oleh pemerintah.
Untuk LPG 3 Kg, kata Purbaya, negara melalui APBN menanggung beban subsidi sebesar 70% atau setara Rp30.000/tabung, sehingga harga jual eceran yang diterima masyarakat bisa ditekan ke level Rp12.750/liter.
Pemerintah memang berencana memperketat pembelian LPG 3 Kg bersubsidi mulai 2026. Nantinya, LPG bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat penerima bantuan sosial (bansos) berbasis DTSEN.
Pada tahun lalu, serapan subsidi untuk Gas Melon mencapai Rp80,2 triliun dengan jumlah penerima manfaat sekitar 41,5 juta pelanggan.
(azr/wdh)

































