Logo Bloomberg Technoz

"Perekonomian dunia masih dalam tren melambat akibat dampak kebijakan tarif resiprokal AS dan ketidakpastian yang masih tinggi," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode September.

AS mengganjar tarif bea masuk 19% untuk produk-produk Indonesia, berlaku mulai 1 Agustus. Sebelumnya, rata-rata tarif yang dikenakan terhadap produk-produk Tanah Air adalah 8%. Artinya, tarif naik lebih dari dua kali lipat.

AS adalah mitra dagang yang penting bagi Indonesia. Sepanjang Januar-Juli, ekspor non-migas ke Negeri Adidaya bernilai US$ 17,89 miliar. Angka ini setara dengan 11,75% terhadap total ekspor non-migas.

AS menjadi pasar ekspor kedua terbesar bagi Indonesia. Hanya kalah dari China yang berkontribusi 22,64% terhadap total ekspor non-migas.

Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat bertemu di PBB. (IG @prabowo)

Impor Membaik

Di sisi impor, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 19 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi pertumbuhan Agustus mengalami kontraksi atau minus 0,95% yoy. Walau masih negatif, tetapi membaik ketimbang Juli yang terkontraksi 5,86% yoy.

Perbaikan ini terjadi seiring pemulihan sektor manufaktur dalam negeri. Maklum, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi di industri dalam negeri.

Pada Agustus, aktivitas manufaktur Ibu Pertiwi kembali ke zona ekspansi. Terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) yang sebesar 51,5.

PMI di atas 50 menandakan aktivitas yang ekspansif, bukan kontraksi. PMI manufaktur Indonesia akhirnya kembali ke zona ekspansi pada Agustus setelah sempat lima bulan beruntun terjebak di zona kontraksi.

"Pada pertengahan kuartal III-2025, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan perbaikan. Perusahaan mencatat pertumbuhan di sisi produksi dan pesanan baru (new orders), dengan pesanan ekspor mencatat kenaikan tercepat dalam hampir dua tahun. 

“Sebagai respons, perusahaan meningkatkan jumlah tenaga kerja dan pembelian untuk menyesuaikan permintaan dan kebutuhan produksi, sekaligus memanfaatkan stok barang jadi yang ada untuk menyelesaikan pesanan. Perusahaan juga berharap pertumbuhan produksi dapat berlanjut dalam waktu dekat, seiring menguatnya optimisme terhadap prospek tahun mendatang,” papar Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, dalam keterangan tertulis.

Ilustrasi pabrik manufaktur tekstil dan pakaian jadi di Indonesia. (Muhammad Fadli/Bloomberg)

Dengan mencermati kondisi ekspor dan impor, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 19 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi neraca perdagangan Agustus senilai US$ 4 miliar. Jika terwujud, maka sedikit berkurang dari posisi Juli yaitu US$ 4,17 miliar.

Andai positif lagi, maka neraca perdagangan Indonesia akan selalu berada di posisi surplus selama 64 bulan beruntun. Kali terakhir Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan adalah pada April 2020.

(aji)

No more pages