Logo Bloomberg Technoz

Tetapi saat ini, lanjut dia, dua otoritas sudah berjalan beriringan. Dia juga memastikan ke depan kedua lembaga akan melakukan pertemuan rutin, sebagai bagian dari optimalisasi percepatan pertumbuhan ekonomi Tanah Air.

"Sekarang udah satu pikiran, kita ingin memajukan ekonomi bareng-bareng," kata dia. "Dan ini serius. Kami betul-betul saling sinergi. Pak Perry itu sama saya udah lama temenan, udah 20 tahun lebih, kenal baik."

Dominasi fiskal

Belakangan, makin banyak sorotan terhadap kebijakan fiskal pemerintah yang dinilai kian 'merambah' ke wilayah moneter. Mulai dari kebijakan berbagi beban bunga (burden sharing) terbaru yang diungkapkan oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan ketika posisi Menkeu masih diduduki oleh Sri Mulyani Indrawati.

Burden sharing 2.0 itu mengatur mekanisme pembagian beban pembiayaan antara BI dan Pemerintah yakni Kemenkeu untuk mendanai program unggulan Presiden Prabowo Subianto, termasuk program Tiga Juta Rumah dan Koperasi Desa Merah Putih. Burden sharing juga dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh bank sentral di pasar sekunder.

Setelah itu, ketika posisi Menkeu diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah kembali menempuh gebrakan yakni dengan memindahkan kas negara senilai Rp200 triliun dari rekening pemerintah di Bank Indonesia ke perbankan BUMN (Himbara).

Langkah itu ditujukan untuk menggenjot perekonomian dengan mendorong pertumbuhan uang primer (M0) agar roda ekonomi kembali menggelinding lewat penyaluran kredit perbankan. Namun, langkah itu menuai tanya karena dinilai bisa mengurangi ruang BI dalam menjalankan tugas stabilitas moneter ke depan.

Kritik juga dilontarkan karena dinilai masalahnya ada pada permintaan sektor riil yang lesu, bukan likuiditas perbankan yang bermasalah. Hal itu ditandai oleh tingkat kredit menganggur (undisbursed loan) yang nyaris mencapai Rp2.400 triliun. 

Gubernur BI Perry Warjiyo juga sempat menyinggung hal tersebut dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur beberapa waktu lalu. "Dari sisi permintaan, belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha (wait and see), suku bunga kredit yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya," kata Gubernur Perry.

Yang terbaru adalah keputusan serempak bank-bank Himbara menaikkan suku bunga simpanan valas ke level 4% mulai awal November nanti. Langkah itu muncul menyusul pernyataan Menkeu Purbaya yang sebelumnya berencana menyiapkan insentif untuk menarik dolar AS milik WNI kembali ke dalam negeri, sehingga dapat mendukung cadangan devisa, menambah suplai valas di perbankan domestik, juga mendorong kredit valas untuk berbagai proyek strategis pemerintah. 

Di tengah-tengah itu, keluar rencana parlemen merevisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023, biasa disebut omnibus law sektor keuangan. Revisi termasuk pengaturan mandat Bank Indonesia dan mekanisme evaluasi berkala oleh parlemen terhadap jajaran pejabat utama bank sentral, menimbulkan kekhawatiran akan terkikisnya independensi BI sebagai bank sentral. 

"Itu namanya fiscal dominance," kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai berbagai gebrakan kebijakan fiskal terbaru. 

Ekonom dan Direktur Centre of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira sependapat. Berbagai bentuk kebijakan baru tersebut termasuk injeksi Rp200 triliun ke Himbara di kala kredit menganggur di perbankan masih sangat besar, "Itu bukti bahwa cara-cara pemerintah mencampuri urusan moneter ini sudah sangat offside, mengganggu independensi BI, bahkan itu malah akan menurunkan minat memindahkan deposito [dolar AS] ke dalam negeri," katanya pada Bloomberg Technoz.

Bhima menilai jika para pengambil kebijakan itu perlu mengembalikan fokus yakni membenahi masalah fundamental perekonomian agar situasi tak kian memburuk. Bagi para pemilik dana besar yang disebut banyak memarkir simpanan valas mereka di perbankan mancanegara, tidak cuma menimbang tawaran suku bunga.

"Mereka juga melihat kepastian kebijakan, stabilitas politik kebebasan demokrasi, kebijakan fiskal yang ekspansif tapi tidak terukur untuk Makan Bergizi Gratis dan Kopdes, itu banyak dikhawatirkan pelaku usaha atau individu yang punya dana di luar negeri untuk kembali pulang," jelas Bhima.

(ibn/rui)

No more pages