Insentif Terukur
Dengan demikian, Yayan mendorong agar pemerintah memberikan insentif secara terukur bagi industri panel surya di Indonesia, serta memberikan stimulus tersebut terhadap pembangunan proyek-proyek PLTS seperti PLTS 100 GW yang dicanangkan dibangun di Koperasi Desa Merah Putih.
“Paling-paling ya itu untuk pengadaan, tetapi nanti itu mungkin saya menyebutnya subsidi 'swap' [subsidi silang] ya, jadi subsidi swap itu katakan subsidi konsumennya dikurangi, misalkan sekian triliun, tetapi mereka dibangun renewables seperti itu,” kata Yayan ketika dihubungi, Selasa (23/9/2025).
Menurut dia, subsidi listrik secara langsung yang menyasar ke konsumen tidak akan cocok diterapkan dalam sistem PLTS. Dia mendorong agar pemerintah memberikan insentif kepada industri pendukung PLTS, serta proyek-proyek pembangunan pembangkit listrik tersebut.
“Akan tetapi, kan itu harus nanti di hematnya berapa persen itu harus ditulis; dan juga instrumennya ini harus benar, karena kalau misalkan kita lihat instrumen fiskalnya itu masih belum matang tuh, harus dipikirkan lagi,” ujar Yayan.
Isu Kelembagaan
Selain dari aspek keekonomian tarif listrik dari PLTS, Yayan juga menyoroti aspek kelembagaan pengelola PLTS tersebut. Menurut dia, hal terpenting yang harus dibenahi dalam rencana proyek tersebut adalah kelembagaan dan sistem terkait dengan PLTS.
“Ya [nilai keekonomian tinggi, sulit tanpa insentif], jadi memang kalau misalkan kita lihat di sini mungkin yang harus dibereskan masalah kelembagaannya. Jadi kelembagaannya dahulu dibersihkan, setelah kelembagaannya itu dibereskan, kemudian sistem,” tegas dia.
Dalam kaitan itu, Yayan menyarankan pemerintah meniru UE dalam mengembangkan dan mengelola PLTS. Dia mengatakan UE mendorong koperasi petani untuk menggandeng komunitas energi terbarukan dalam pengelolaan PLTS yang bisa dimanfaatkan untuk sektor pertanian.
Selain itu, pengelolaan PLTS di UE terbilang berhasil lantaran energi terbarukan mendapat dukungan melalui regulasi Common Agricultural Policy (CAP) yang memberikan insentif pada sektor pertanian, serta Renewable Energy Directive (RED) yang menjadi payung hukum bagi pembentukan komunitas energi terbarukan.
“UE melalui dua kerangka kebijakan tersebut menghadirkan skema pendanaan yang bisa diakses koperasi; termasuk koperasi petani, untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan seperti PLTS,” kata Yayan.
Selain itu, Yayan berharap pemerintah juga merekrut tenaga kerja yang profesional untuk mengelola PLTS tersebut. Meskipun terkesan sepele, kata dia, namun panel surya perlu dipelihara secara rutin untuk menghindari kerusakan.
Untuk diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia terungkap bahwa 80.000 koperasi diprediksi menghasilkan listrik 80 GW dan 20 GW sisanya merupakan listrik hasil sentra PLTS kabupaten/kota.
PLTS tersebut nantinya dibangun di 80.000 Koperasi Merah Putih dengan nilai proyek sebesar US$100 miliar. PLTS tersebut rencananya akan dimanfaatkan untuk menyuplai listrik untuk kebutuhan operasional Koperasi Merah Putih dan dalam rangka mendorong percepatan swasembada energi.
Dalam perkembangannya, Bahlil mengaku masih mengkaji nilai keekonomian PLTS berkapasitas total 100 GW tersebut. Dengan begitu, dia belum dapat memastikan periode pelaksanaan proyek serta penetapan target pembangunannya.
“Kalau sudah desainnya selesai, baru kita mulai umumkan start-nya. Sekarang kan kita cek dulu, apakah ekonomis atau tidak. Setelah itu kita akan dorong ya,” kata Bahlil di Jakarta International Convention Center (JCC), Rabu (17/9/2025).
Menurut Bahlil, nantinya akan terdapat 1 PLTS di setiap desa di Indonesia dengan kapasitas sekitar 1–1,5 MW. Akan tetapi, Bahlil enggan mengungkapkan bagaimana integrasi PLTS tersebut dengan Koperasi Desa Merah Putih.
“Nanti dalam implementasinya itu akan dikelola. Apakah oleh PLN atau siapa? Itu soal lain. Kami di Kementerian ESDM main desain dan mengimplementasikan itu,” tegas dia.
Sebelumnya, Bahlil menyatakan proyek PLTS 100 GW tersebut akan melibatkan investor asing. Hal tersebut diungkapkan Bahlil usai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
“Pasti [melibatkan investor asing], karena solar panel 100 GW itu kan cukup besar,” kata Bahlil kepada awak media di Kompleks Istana Kepresidenan, baru-baru ini.
Bahlil menjelaskan PLTS dengan kapasitas 100 GW dipandang cukup besar dan tidak sebanding dengan kapasitas industri lokal yang berada di sekitar 5 GW per tahun.
Dengan begitu, kementeriannya akan mencoba mencari pendanaan dari investor asing untuk berkolaborasi dengan perusahaan swasta Indonesia dan PT PLN (Persero) selaku perusahaan pelat merah Indonesia.
(azr/wdh)































