Logo Bloomberg Technoz

Selain itu, Ishak juga mewaspadai penggabungan usaha milik Pertamina tersebut akan memakan biaya yang tinggi sehingga bisa membebani keuangan negara dalam jangka pendek.

Lalu, rumitnya birokrasi di Indonesia juga diwaspadai oleh Ishak dapat menghambat proses penggabungan tiga anak usaha Pertamina tersebut hingga akhirnya target awal rampungnya meger pada akhir tahun ini berpotensi meleset.

“Risiko penundaan persetujuan dari Danantara atau DPR, yang berpotensi molor dari target akhir 2025,” tegas dia.

Akan tetapi, Ishak tetap meyakini penggabungan anak usaha Pertamina tersebut berpotensi meningkatkan skala ekonomi dan mengefisiensikan biaya yang dikeluarkan perseroan. Integrasi tersebut dipandang membantu Pertamina lebih adaptif merespons perubahan dinamika bisnis.

Dalam hal ini, Ishak berharap Pertamina bisa segera menyesuaikan rencana bisnis dengan meningkatnya tren produksi produk petrokimia dalam rangka mengimbangi potensi penurunan permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di beberapa negara.

Lalu, Ishak memandang penggabungan tiga lini bisnis Pertamina tersebut dapat mendorong penurunan biaya produksi kilang dan produk BBM Pertamina saat kebutuhan impor migas meningkat.

“Efisiensi ini juga dapat mendorong penurunan biaya produksi kilang dan produk BBM Pertamina di tengah meningkatnya kebutuhan impor migas dan produk BBM dan LPG,” tegas dia.

(Dok. Pertamina)

Untuk diketahui, Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri menjelaskan tiga anak usaha tersebut akan dilebur untuk memperkuat operasional bisnis sektor hilir perseroan. Proses merger ditargetkan tuntas pada akhir tahun ini.

“Supaya lebih efektif, memang ada beberapa kajian di kita untuk menggabungkan antara Kilang [KPI], PIS, dan PPN. Iya, nanti akan digabungkan,” kata Simon ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Kamis (11/9/2025).

"[...] Kita targetkan akan selesai pada akhir 2025 ini," tegasnya.

Penurunan Laba

Menurut Simon, penggabungan tiga subholding tersebut dilakukan untuk memitigasi penurunan laba perusahaan akibat kondisi pasar dan komoditas global yang diklaim sedang tak mendukung.

Akibat permintaan dan harga yang turun, Simon menyatakan margin keuntungan yang didapatkan akhirnya makin kecil. Produksi kilang milik Pertamina, padahal, sedang meningkat karena banyaknya kilang baru.

Nah, dengan marginnya semakin kecil, tentunya secara keseluruhan, secara konsolidasi kan akan berpengaruh kurang baik ke bottom line perusahaan,” tegas Simon.

Adapun, Pertamina mencetak laba bersih senilai US$1,6 miliar atau sekitar Rp26,3 triliun (asumsi kurs Rp16.443) sepanjang Januari hingga Juli 2025.

Capaian tersebut tumbuh 6% secara tahunan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang senilai US$1,5 miliar atau sekitar Rp24,7 triliun.

Laba bersih tersebut didukung oleh pendapatan sejumlah US$40,1 miliar atau sekitar Rp675 triliun. Namun, pendapatan tersebut terkoreksi 6% dari tahun sebelumnya sebesar US$43,5 miliar atau sekitar Rp716,7 triliun.

Sementara itu, pendapatan sebelum perpajakan (EBITDA) dilaporkan sebesar US$6,2 miliar atau sekitar Rp103,3 triliun dan tumbuh 3% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$6,1 miliar atau Rp100,5 triliun.

“Pertamina menjaga kinerja keuangan tetap positif hingga Juli 2025, meskipun menghadapi penurunan parameter yang signifikan pada harga minyak mentah, diesel atau solar, dan kurs dolar AS dibandingkan dengan periode 2024,” kata Simon, pekan lalu.

(azr/wdh)

No more pages