Saat itu, otoritas moneter negara mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga hingga mencapai 60% guna stabilitasi rupiah. Akibatnya, moneter dalam negeri justru mengalami sengkarut, yang turut membuat industri hancur.
"Bunga yang tinggi menghancurkan riil sektor, uang yang banyak dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita. Jadi kita membiayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu tanpa sadar," tutur dia.
Sebaliknya, pada peristiwa 2008—2009, pemerintah justru menempuh langkah ekspansif dengan mempercepat belanja dan menurunkan bunga. Itu, kata dia, mampu menjaga pertumbuhan di tengah krisis finansial global (GFC).
"Kalau kita menjaga nilai tukar rupiah dan lain-lain, ciptakan pertumbuhan ekonomi. Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, jaga kondisi likuiditas di sistem ekonomi," kata dia.
(lav)































