Logo Bloomberg Technoz

Smelter alumina skala besar ini dikendalikan oleh kongsi China Hongqiao Group Co. Ltd. dengan kepemilikan saham 56%, PT Cita Mineral Investindo Tbk. (CITA) dengan porsi 30%, Winning Investment (HK) Company Limited 9%, dan Shandong Weiqiao Aluminium & Electricity 5%.

Selain itu, smelter lain yang telah beroperasi skala penuh di antaranya milik PT Indonesia Chemical Alumina dengan kapasitas produksi chemical grade alumina (CGA) mencapai 300.000 ton.

Selanjutnya, smelter PT Bintan Alumina Indonesia, dikendalikan oleh perusahaan aluminium China Shandong Nanshan, turut beroperasi penuh dengan kapasitas 2 juta ton smelter grade alumina (SGA).

Belakangan, Bintan Alumina Indonesia menambah kapasitas produksi sebanyak 1 juta ton alumina, yang saat ini masuk tahap ramp up.

Pekerja memantau bijih bauksit yang sedang bergerak di atas konveyor./Bloomberg-Dhiraj Singh

Adapun, smelter PT Borneo Alumindo Prima turut memasuki fase ramp up dengan kapasitas produksi 1 juta ton.

Borneo Alumindo Prima dikendalikan oleh raksasa pembuat logam dasar China, Hangzhou Jinjiang Group lewat afiliasinya HC-Asia Pacific Holdings Pte.Ltd. (porsi saham 80%) dan Top Celestial Holdings Pte. Ltd. (20%). 

Sementara itu, smelter yang dioperasikan PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), SGAR Mempawah turut memasuki fase ramp up dengan kapasitas produksi 1 juta ton per tahun.

Perusahaan ini dikendalikan oleh kongsi PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan kepemilikan saham 60% dengan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau ANTM dengan porsi 40%.

“Bintan baru saja menyelesaikan ekspansi tahap III, Borneo Alumindo Prima juga masih uji coba, jadi output-nya bertahap,” kata Rizqi.

Rizqi berpendapat fase penambahan produksi alumina dari sejumlah smelter di Indonesia bakal ikut menahan harga alumina di pasar global, terutama pasar Asia.

“Dengan tambahan pasokan dari Indonesia, ada indikasi harga akan terkoreksi tipis, terutama di pasar Asia,” kata dia.

Sekadar catatan, harga alumina telah terkoreksi lebih dari 40% secara year to date (ytd) ke level US$360—US$380 per ton dari posisi awal tahun yang sempat menyentuh US$670 per ton.

Kendati demikian, harga aluminium relatif stabil di rentang US$2.600—US$2.700 per ton, naik sekitar 10% dibandingkan dengan posisi harga tahun lalu. Adapun, harga aluminium di London Metal Exchange (LME) per Kamis (4/9/2025) ditawar di level US$2.619 per ton.

“Tren harga alumina kemungkinan tetap rendah hingga akhir tahun di kisaran US$350—US$400 per ton, karena stok yang masih cukup tinggi dan produksi baru yang terus masuk ke pasar,” kata Head of Research & Business Development Risat Capital Rizkia Darmawan saat dihubungi, Kamis (4/9/2025).

Di sisi lain, Darmawan berpendapat, pelemahan harga alumina bakal menjadi angin segar bagi pengembang proyek smelter aluminium yang tidak terintegrasi dengan pabrik alumina dan tambang bauksit.

“Penurunan harga tahun ini memberi sedikit ruang untuk perbaikan margin,” kata Darmawan.

(naw/wdh)

No more pages