Logo Bloomberg Technoz

Hanya saja, dia menggarisbawahi, pemerintah memiliki kepentingan untuk mengurangi tumpukan sampah di sejumlah kota besar saat ini.

“Mesti ada keberpihakan APBN untuk investasi ini, meskipun tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai renewable energy,” kata dia.

PLN memperkirakan kompensasi untuk menjalankan proyek PLTSa mencapai sekitar Rp8,35 triliun per tahun.

Hitung-hitungan itu disampaikan PLN saat memberi masukkan pada revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Lewat bahan presentasi PLN yang dilihat Bloomberg Technoz, perusahaan setrum negara itu meminta kepastian kompensasi selepas tipping fee atau pengelolaan sampah di tingkat pemerintah daerah dialihkan sebagai komponen tarif listrik.

Besaran kompensasi itu berasal dari simulasi perhitungan untuk 15 PLTSa yang saat ini masuk dalam perencanaan PLN sebesar Rp5,98 triliun, tersebar di 15 kota di Jakarta, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah hingga Sulawesi.

Sementara itu, sekitar Rp2,37 triliun berasal dari 9 proyek PLTSa yang diusulkan pemerintah kota lainnya yang belum masuk ke dalam perencanan PLN.

Profil pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di Jakarta. (Dok. PLN).

Di sisi lain, PLN turut mengusulkan kenaikan harga patokan tertinggi atau ceilling tariff PLTSa ke level US$22 sen per kilowatt hour (kWh) selepas rencana pemerintah untuk memasukkan komponen tipping fee ke dalam BPP listrik.

Adapun, skema kompensasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) itu sebelumnya tidak diatur dalam perpres lama.

Dalam regulasi pembangkit listrik sampah sebelumnya, tipping fee dibayarkan lewat APBD dengan tarif listrik feed in tarrif maksimal US$13,35 sen per kWh.

Selain itu, PLN mengusulkan model kontrak take and pay dengan annual contracted energy (ACE) untuk menjamin pengembalian investasi dalam beleid yang anyar. Sebelumnya, skema jaminan pengembalian investasi belum diatur pada regulasi lama.

“Dorongan memasukkan PLTSa sebagai beban PLN sudah terindikasi cukup lama dalam berbagai dokumen kebijakan dan kajian KPK di 2020 juga menunjukkan beratnya beban melibatkan PLN,” kata Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna saat dihubungi.

Di sisi lain, Putra menilai, tarif listrik yang dihasilkan dari pengolahan sampah ini relatif tidak kompetitif jika dibandingkan dengan sumber EBT lainnya seperti panas bumi dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

“Apapun solusi sampahnya diperlukan perbandingan transparan dan jika insinerator memang solusinya maka pemerintah perlu mentuntaskannya tanpa perlu membebani PLN,” kata dia.

Bloomberg Technoz telah meminta konfirmasi ke Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi dan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo terkait dengan simulasi kompensasi listrik sampah itu.

Hanya saja, permohonan konfirmasi belum ditanggapi sampai berita tayang.

Peta pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di Indonesia. (Dok. PLN)

Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN IP Bernardus Sudarmanta mengatakan perseroannya bakal bertindak sebagai bagian dari pengembang pada PLTSa selepas Perpres baru diteken pemerintah.

Selain itu, Bernardus menuturkan jumlah proyek PLTSa yang akan dilelang PLN masih bersifat dinamis.

“PLN IP akan menjadi bagian dari developer saja. Mengenai jumlah proyek belum ada kepastian,” kata Bernardus saat dikonfirmasi.

Sampai dengan semester I-2025, PLN telah menadantangani PJBL untuk PLTSa Palembang, PLTSa Sunter, PLTSa Surabaya dan PLTSa Surakarta.

Hanya 2 PJBL yang telah beroperasi di antaranya PLTSa Putri Cempo di Solo berkapasitas 5 megawatt (MW) dan PLTSa Benowo di Surabaya berkapasitas 9 MW.

(naw)

No more pages