“Saya rasa ini tidak akan terbatas pada mereka yang sudah berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Sederhananya, kekhawatiran utama saya adalah banyak orang akan mulai begitu yakin pada ilusi AI sebagai entitas yang sadar, sehingga mereka akan segera mengadvokasi hak-hak AI, model kesejahteraan, dan bahkan kewarganegaraan AI,” kata Suleyman.
Kemudian dia memprediksi fenomena SCAI dapat hadir dalam 2-3 tahun ke depan. Suleyman juga menyebut hal itu tak dapat dihindari dan tidak diinginkan.
“Kehadiran ‘AI yang tampak sadar’ memang tak terelakkan dan tidak diharapkan. Sebaliknya, kita membutuhkan visi untuk AI yang dapat memenuhi potensinya sebagai pendamping yang bermanfaat tanpa terjerumus dalam ilusinya,” tutur dia.
Fenomena Puncak Gunung Es
Lanjut Suleyman, bagi sebagian orang, pembahasan ini mungkin terasa tidak berdasar, lebih seperti fiksi ilmiah (sci-fi) daripada kenyataan. Namun bagi yang lain, mungkin terasa terlalu mengkhawatirkan.
“Reaksi emosional seperti itu hanyalah puncak gunung es, mengingat apa yang akan terjadi. Kemungkinan besar beberapa orang akan berpendapat bahwa AI ini tidak hanya memiliki kesadaran, tetapi juga dapat menderita akibatnya dan karenanya patut dipertimbangkan secara moral,” ujar Suleyman.
Menukil Business Insider, Jumat (20/8/2025) CEO OpenAI, Sam Altman baru-baru ini mengungkapkan bahwa sebagian besar pengguna ChatGPT dapat menjaga batas yang jelas antara kenyataan dan fiksi atau bermain peran (roleplay), tetapi sebagian kecil tidak bisa. Sementara itu, Penasihat Khusus Bidang Kecerdasan Buatan dan Kripto di Gedung Putih, David Sacks, membandingkan psikosis AI dengan “kepanikan moral” di masa-masa awal media sosial (medsos).
(ell)

































