Namun memang, rupiah memimpin pelemahan hingga menjadi yang terlemah di Asia, bersama rupiah, rupee India tergerus 0,3%, lalu menyusul dolar Taiwan 0,29%, yen Jepang drop 0,17%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,07%.
Sedang baht Thailand (0,07%), dolar Hong Kong (0,04%), dan dolar Singapura (0,01%) jadi mata uang dengan pelemahan terkecil di Asia sepanjang hari ini.
Beberapa mata uang Asia lain masih berhasil menguat seperti won Korea 0,63%, peso Filipina 0,04%, dan yuan terapresiasi 0,03%.
Tekanan di pasar valuta asing turut terjadi di pasar saham. IHSG yang sempat hijau tadi pagi justru berbalik arah dari penguatannya hingga melemah terdalam mencapai 0,4% usai selesainya sesi kedua perdagangan saham hari ini.
IHSG ditutup di posisi 7.858.
Tekanan yang masih dihadapi oleh rupiah masih bersumber dari gejolak pasar keuangan global. Tercermin dari indeks dolar AS yang semakin gagah nan tangguh. Indeks dolar AS 'terbang' tinggi hingga menyentuh level 98,833 pada hari ini.
Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) terus menguat sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 5 Agustus atau lebih dari 2 pekan.
Adapun dolar menguat terhadap sebagian besar mata uang Asia seiring para pelaku pasar menantikan pidato Gubernur The Fed Jerome Powell di simposium Jackson Hole.
Pelaku pasar saat ini kelihatan pesimistis memandang prospek penurunan bunga acuan pada bulan depan. Pasar terus–menerus menurunkan probabilitas penurunan Federal Funds Rate pada pertemuan September 2025.
Pasar melihat kemungkinan Bank Sentral Federal Reserve bisa saja tidak menurunkan bunga acuan dalam rapat September. Mengutip CME FedWatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 4,25-4,5% pada rapat bulan depan adalah 28,7%. Ini menjadi yang tertinggi dalam sebulan.
Pasar masih memperhitungkan peluang 72% untuk pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps pada September, biarpun turun dari probabilitas 100% pada Rabu lalu.
Perhitungan peluang terbaru ini muncul setelah rilis data terbaru Ekonomi AS. S&P Global melaporkan, Purchasing Managers’ Index (PMI) AS pada Agustus berada di 55,1 berdasarkan pembacaan pertama (flash reading). Ini adalah yang tertinggi sepanjang 2025.
Data ini memberi gambaran Ekonomi AS masih solid. Dengan begitu, kebutuhan akan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan jadi lebih kecil.
Terlebih lagi, antisipasi perhatian investor tertuju dan berfokus terhadap perkembangan di simposium tahunan Bank Sentral AS Federal Reserve di Jackson Hole, Wyoming. Pidato Gubernur Jerome Powell amat dinanti, bisa memberi petunjuk soal arah kebijakan moneter ke depan.
“Jika memangkas (suku bunga) terlalu cepat atau terlalu agresif, maka The Fed berisiko menyebabkan ekspektasi inflasi makin tinggi. Namun kalau bergerak terlalu lambat, maka ada risiko pasar tenaga kerja makin melemah dan ekonomi sulit tumbuh,” kata Jim Baird dari Plante Moran Financial Advisors, seperti dikutip dari Bloomberg News.
(fad/aji)




























