Namun, di balik peluang besar itu, tantangan AI juga tak kalah besar. Masalah etika menjadi salah satu fokus utama. Algoritma AI bisa menguatkan ketidakadilan sosial jika dirancang tanpa mempertimbangkan keberagaman data.
“AI bisa menjadi pengganda ketidakadilan jika kita tidak hati-hati. Bayangkan jika sistem rekrutmen berbasis AI menolak kandidat hanya karena bias tersembunyi dalam data pelatihan,” ujar Sonita.
Keamanan siber juga menjadi perhatian penting. AI dapat dimanfaatkan untuk serangan siber skala besar, mulai dari pencurian data hingga manipulasi opini publik melalui disinformasi otomatis.
Selain itu, Sonita mengingatkan soal potensi ketimpangan global. Negara yang memiliki infrastruktur teknologi canggih akan lebih cepat memanfaatkan AI, sementara negara lain bisa tertinggal jauh, memperlebar jurang digital.
Menghadapi tantangan ini, Sonita menekankan perlunya kebijakan publik yang proaktif. Regulasi harus mampu mengikuti perkembangan teknologi, bukan sebaliknya. “Kita butuh kerangka hukum yang lincah, bukan yang menghambat inovasi,” jelasnya.
Kolaborasi internasional juga sangat penting. AI adalah teknologi global, sehingga dampak dan solusinya tidak bisa hanya dibatasi oleh satu negara. “Pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat global harus bekerja sama membentuk masa depan AI yang aman dan inklusif,” tambahnya.
Membangun Masa Depan AI yang Berkelanjutan
Sonita optimistis bahwa AI dapat menjadi kekuatan positif jika dikelola dengan bijak. Ia menutup sesinya dengan pesan penting:
“Teknologi ini akan terus berkembang, dengan atau tanpa kita. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan membentuk AI sesuai nilai-nilai kemanusiaan, atau membiarkannya membentuk kita?”
(tim)
































