Selain itu, Bhima meminta pemerintah agar memastikan anggaran EBT tidak diperuntukkan mendanai teknologi yang sebenarnya justru berisiko memperpanjang bisnis energi fosil.
Misalnya, kata Bhima, teknologi peningkatan porsi pembakaran bersama (co-firing) biomassa dan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) dan carbon capture utilization and storage (CCUS).
Selanjutnya, Bhima menilai pemerintah perlu mendorong industri komponen panel surya dan industri komponen generator hidro di dalam negeri sehingga impor komponen EBT dapat ditekan.
“Pemerintah perlu memprioritaskan model energi terbarukan berbasis komunitas termasuk di desa-desa terluar yang belum ada akses listriknya,” terangnya.
Sekadar catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan total kapasitas terpasang EBT baru mencapai 15,2 gigawatt (GW) atau 14,5% dari total pembangkit nasional per semester I-2025. Realisasi itu terpaut jauh dari target bauran EBT yang dicanangkan pemerintah sebesar 23% sampai akhir tahun ini.
Adapun, penambahan baru kapasitas terpasang EBT sepanjang Januari—Juni 2025 tercatat sebesar 876,5 megawatt (MW), naik 15% dari penambahan kapasitas EBT untuk keseluruhan 2024 di level 761,9 MW.
Dihubungi secara terpisah, ekonom energi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Yayan Satyakti memandang pembiayaan EBT dalam APBN 2026 sebesar Rp37,5 triliun menunjukkan komitmen pemerintah dalam transisi energi.
Akan tetapi, lanjut dia, jika anggaran itu dibandingkan dengan anggaran akselerasi energi terbarukan tipe variabel (VRE) program pendanaan iklim Just Energy Transition Partnership (JETP), nilainya baru setara 9% dari pendanaan JETP sebesar US$25,7 miliar.
“Sebagai inisiatif ini relatif bagus, karena adanya komitmen terhadap pengembangan EBT yang lebih tinggi. Menurut data Dirjen EBTKE total investasi renewable energy sebesar US$1,4 miliar per Desember 2024. Ada kenaikan diatas 50%,” kata Yayan.
Harga Listrik EBT
Menurutnya, pembiayaan transisi energi melalui APBN harus diarahkan untuk menurunkan biaya tarif listrik pembankit listrik tenaga surya (PLTS) yang saat ini masih berada di kisaran US$5–11 sen per kilowatt hour (kWh).
Yayan juga menyoroti tingginya risiko eksplorasi dan pengeboran sumber daya panas bumi yang membuat levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bisa mencapai US$9 sen per kWh atau hampir setara dengan pasar global, dan jauh di atas klaim PT PLN yang menyebutkan sebesar US$6 sen.
Dengan demikian, dirinya memandang target Prabowo mencapai bauran EBT 100% pada 2035 perlu ditempuh dengan langkah yang konsisten dan upaya pertama yang perlu didorong yakni menurunkan harga jual listrik yang dihasilkan pembangkit EBT.
“Apakah reasonable dan plausible dicapai 10 tahun. Ini persoalan komitmen dan konsistensi. Kuncinya ada Di regulasi agar LCOE-nya di bawah standar internasional,” tegas dia.
Dia menilai pemerintah perlu mengintegrasikan pasar sektor EBT ke pasar listrik sehingga memiliki ekosistem yang terintegrasi. Dengan demikian, dia mendorong agar hal tersebut dimasukan dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
“Contoh sukses seperti Brasil dan Uni Eropa, pembiayaan terhadap R&D adalah kunci, karena ketika LCOE kompetitif maka akan mudah bagi PLN untuk menyusun costing structure dari hulu hingga hilir untuk mencapai swasembada energi,” pungkas dia.
Untuk diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah menyiapkan sejumlah proyek pembangkit EBT skala besar untuk mengerek bauran energi bersih 100% selama 10 tahun mendatang.
Ihwal keinginan Prabowo itu, Airlangga mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah pembangkit skala besar untuk bisa dikembangkan dalam waktu dekat.
Beberapa pembangkit itu bertumpu pada proyek pembangkit panas bumi, pembangkit hidro hingga PLTS.
“Ada juga proyek PLTS, dan Indonesia sudah MoU dengan pemerintah Singapura itu bisa akselerasi pembangkit PLTS,” kata Airlangga dalam konferensi pers Nota Keuangan 2026, Jumat (15/8/2025).
Selain itu, kata Airlangga, upaya mengerek bauran energi bersih itu juga berasal dari inisiatif adopsi panel surya dari sektor industri.
“Beberapa industri sudah menyiapkan roof solar itu juga bisa menambah akselerasi dari energi baru terbarukan,” kata dia.
Kendati demikian, Prabowo menegaskan, pemerintah juga akan memacu produksi minyak dan gas bumi (migas), meskipun transisi menuju energi bersih akan dipercepat.
“Energi terbarukan adalah masa depan. Kita harus genjot pembangunan pembangkit dari surya, hidro, panas bumi, dan bioenergi,” ujarnya dalam pidato RAPBN 2026 beserta Nota Keuangannya, Jumat (15/8/2025).
(azr/wdh)
































