Karena itu, pemerintah menilai perlu segera dibuat norma hukum yang mengatur batasan antara pelatihan AI dan penggunaan output-nya agar tidak merugikan pemilik hak cipta maupun menghambat inovasi teknologi.
Ramli mengutip pendekatan baru yang mulai diterapkan di Amerika Serikat. Salah satu studi dari Stanford University menyatakan bahwa yang seharusnya dipermasalahkan bukan data latih yang digunakan AI, melainkan output yang dihasilkan.
“Yang harus disoal itu adalah output-nya. Apakah output itu mengganggu tidak eksistensi materi berhak cipta yang sudah ada?” katanya.
Ia menambahkan, salah satu pengadilan federal di Amerika bahkan telah menyatakan bahwa pelatihan AI dapat dikategorikan sebagai fair use, sejauh tidak merusak nilai ekonomi dari karya asli.
Desakan revisi ini tidak hanya menyasar aspek teknologi, tetapi juga mempertimbangkan perlindungan atas ekosistem ekonomi kreatif. Tanpa kejelasan hukum, baik pelaku kreatif maupun pelaku industri teknologi bisa menghadapi ketidakpastian yang merugikan kedua belah pihak. “Ini menyangkut masa depan ekonomi digital kita,” ucap Ramli.
Revisi UU Hak Cipta ke depan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang seimbang—melindungi hak pencipta sekaligus membuka ruang bagi inovasi digital yang makin cepat melesat, termasuk lewat pemanfaatan AI.
(fik/spt)
































