Upaya sejumlah negara untuk meraih kesepakatan yang lebih baik juga mengalami kegagalan. Presiden Swiss meninggalkan Washington pada Rabu tanpa berhasil menurunkan tarif 39% yang dikenakan, dan Trump menggandakan tarif atas barang-barang India menjadi 50% sebagai sanksi atas pembelian minyak Rusia, yang berlaku dalam tiga pekan ke depan.
Negosiasi tarif dengan tiga mitra dagang utama AS — Meksiko, Kanada, dan China — masih berlangsung secara terpisah. Trump juga berencana segera mengumumkan tarif baru untuk sektor-sektor strategis, seperti farmasi dan semikonduktor.
Bulan-bulan ke depan akan menjadi ujian bagi klaim Trump maupun kritiknya: apakah kebijakan tarif ini akan membawa perubahan besar bagi perekonomian AS.
Trump berjanji bahwa tarif tinggi akan mengurangi defisit perdagangan dan mendorong perusahaan memindahkan produksi kembali ke dalam negeri. Namun para pengkritiknya memperingatkan kebijakan ini justru bisa memicu inflasi dan menyebabkan kelangkaan barang di pasar.
Meskipun dampak tersebut belum sepenuhnya terlihat, data ekonomi terbaru mengindikasikan potensi masalah. Angka ketenagakerjaan bulan Juli menunjukkan revisi penurunan terbesar sejak pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi AS pun melambat pada paruh pertama tahun ini seiring konsumen menahan belanja dan perusahaan menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan perdagangan.
Tingkat pengangguran memang masih rendah dan harga belum melonjak, karena sejauh ini banyak perusahaan menanggung beban tarif. Namun sejumlah ahli meyakini bahwa pada akhirnya konsumen dan pelaku usaha akan menanggung biayanya.
“Ada tanda-tanda masa sulit akan segera datang. Banyak perusahaan telah menimbun stok sebelum tarif diberlakukan,” kata Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute sekaligus mantan negosiator perdagangan AS. Ia menambahkan bahwa “kenaikan harga hampir tak terhindarkan” karena margin keuntungan tidak bisa terus ditekan dalam jangka panjang.
Sejak pertama kali diumumkan dan kemudian ditunda pada April, kebijakan tarif Trump telah mengguncang perekonomian global, memicu negosiasi cepat dengan berbagai mitra dagang. Ketidakpastian tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha terkait gangguan rantai pasok dan peningkatan biaya.
Kini, sebagian besar negara tampaknya telah menerima kenyataan bahwa tarif tinggi akan menjadi kebijakan permanen. Banyak negara bahkan menjanjikan investasi bernilai ratusan miliar dolar ke AS demi meredakan Trump dan mendapatkan pengurangan tarif.
Meski begitu, sejumlah aspek penting dari kebijakan Trump masih belum final. Diskon tarif mobil untuk UE, Jepang, dan Korea Selatan belum dituangkan secara resmi. Begitu pula dengan rincian janji investasi dan kebijakan akses pasar bagi produk AS yang diharapkan dapat mengurangi defisit perdagangan.
Sejumlah analis di Wall Street telah memperingatkan klien mereka agar bersiap menghadapi kemungkinan koreksi pasar. Pada Senin, Morgan Stanley, Deutsche Bank AG, dan Evercore ISI mengisyaratkan bahwa Indeks S&P 500 berpotensi turun dalam waktu dekat. Peringatan ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kondisi ekonomi AS, setelah data pekan lalu menunjukkan kenaikan inflasi serta pelemahan pertumbuhan lapangan kerja dan konsumsi.
Biaya hidup menjadi isu sentral dalam pemilu tahun lalu, dan jajak pendapat menunjukkan ketidakpuasan terhadap pendekatan Trump. Survei Fox News terbaru menunjukkan 62% pemilih tidak setuju dengan kebijakan tarif Trump — sementara 58% menolak undang-undang pajak dan belanjanya. Secara keseluruhan, 55% tidak puas dengan penanganannya terhadap ekonomi.
Program tarif Trump juga menghadapi tantangan hukum, karena penggunaan kewenangan darurat untuk menetapkan tarif berdasarkan negara sedang digugat di pengadilan. Saat ini, ia lebih mengandalkan dasar hukum yang lebih kuat untuk mengenakan tarif pada sektor industri tertentu, seperti mobil dan logam.
“Pemerintah mencoba menyampaikan narasi bahwa siklus tarif ini akan segera berakhir dan menciptakan kepastian,” kata Tim Meyer, profesor hukum di Universitas Duke yang mengkhususkan diri pada hukum perdagangan. Namun ia menambahkan bahwa “kemampuan implementasinya diragukan secara hukum.”
Trump bersikeras bahwa kebijakan ini akan membawa era keemasan baru bagi ekonomi AS dan menolak data yang bertentangan dengan narasinya. Ia bahkan memecat kepala lembaga statistik nasional yang merilis data ketenagakerjaan terbaru.
Trump juga menyombongkan pendapatan bea masuk yang meningkat tajam, bahkan sempat menyarankan bahwa sebagian uang tersebut bisa dikembalikan dalam bentuk cek tunai untuk warga AS. Data Departemen Keuangan AS menunjukkan bahwa pendapatan bea masuk melonjak hingga rekor US$113 miliar dalam sembilan bulan hingga Juni.
Namun belum jelas apakah Trump berhasil mewujudkan tujuan lainnya: membawa kembali produksi ke AS. Ia dan para penasihatnya berargumen bahwa tarif akan menciptakan ledakan lapangan kerja manufaktur.
Namun Brad Jensen, profesor di McDonough School of Business, Universitas Georgetown, menyatakan bahwa tidak mungkin pendapatan tarif dan pekerjaan manufaktur bisa meningkat secara bersamaan.
“Keduanya tidak bisa benar,” katanya. Jika produksi dalam negeri meningkat, “maka kita tidak akan mendapatkan pendapatan dari tarif,” karena volume impor akan menurun.
(bbn)































