Logo Bloomberg Technoz

"kami coba untuk konfirmasi kepada teman-teman dari retailer gitu ya, dan juga kami tanyakan dari asosiasi bahwa triwulan 2 [2025] tidak terlihat begitu tinggi, bahkan fenomena Rojali dan Rohana, ini salah satu yang mendorong kinerja dari perdagangan atau industri retail itu tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," jelasnya.

Oleh sebab itu, dia merasa skeptis terkait bagaimana pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,12%, padahal "pada kuartal II-2025 tidak ada momentum Ramadhan, tetapi justru pertumbuhannya lebih tinggi dari triwulan I yang hanya 4,87%."

Selain itu, dari sisi pertumbuhan industri pengolahan non migas, BPS melaporkan tumbuh 5,6%, padahal di sisi lain, data Purchasing Managers’ Index (PMI) justru menunjukkan terjadinya kontraksi yang cukup dalam pada Juni 2025 yakni di 49,2.

Lebih lanjut, ia menyinggung subsektor mesin dan perlengkapan yang menurut BPS tumbuh hingga 18,75% secara tahunan (year-on-year). Padahal, menurut catatan Indef, pada periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya, sektor tersebut justru mengalami kontraksi.

Selain itu, pertumbuhan sektor barang galian bukan logam (BGBL) yang tercatat mencapai 10%. Ia menilai angka tersebut tak sejalan dengan tren penjualan semen di lapangan, yang justru belum pulih sepenuhnya setelah melemah sejak akhir 2024.

Dari sisi pengeluaran, Andri juga meragukan angka pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang dilaporkan naik hampir 7%, terutama disumbang oleh lonjakan pada kategori mesin dan perlengkapan hingga 25,3%.

"Ini makanya ada pertanyaan apakah memang betul di triwulan II itu terjadi pemulihan atau investasi dalam hal ini mesin dan perlengkapan sampai 25,3%? Saya rasa tidak, karena tentu kalau kita berkaca kepada data realisasi investasi dari BKPM saja, capaian dari triwulan II-2025 itu memang masih ada peningkatan pertumbuhan, tapi tidak sebesar pertumbuhan di triwulan II-2024, di mana pertumbuhan di triwulan 2 2025 berdasarkan realisasi dan pertumbuhan investasi, baik itu PMDN dan juga PMA itu hanya naik 12%, sedangkan di tahun 2024 kenaikannya 22%," jelasnya.

Dengan berbagai ketidaksesuaian ini, Andri menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% yang diumumkan BPS patut dikaji ulang.

"Beberapa data yang tidak match ini tentu saja menjadi pertanyaan publik bahwa pertumbuhan ekonomi 5,12% itu cukup menggambarkan kondisi real Indonesia saat ini. Karena kalau misalnya tidak bisa menggambarkan kondisi di lapangan, maka menurut saya bersiaplah ketidakpercayaan publik itu pasti akan tinggi terhadap data-data yang dikeluarkan oleh pemerintah," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, pada Selasa (5/8/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar Rp 5.947 triliun Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB), Tumbuh 5,12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

Pencapaian ini merupakan prestasi tersendiri. Soalnya, realisasi lumayan jauh lebih tinggi ketimbang ekspektasi.

Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg menghasilkan median proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 4,8% yoy. Jika terwujud, maka menjadi yang terlemah sejak kuartal III-2021 atau hampir 4 tahun terakhir.

Namun kenyataan berkata lain. Pertumbuhan ekonomi 5,12% yoy justru menjadi yang tertinggi sejak kuartal II-2023 atau 2 tahun terakhir.

(lav)

No more pages