Pengumuman tersebut disambut dengan reaksi keras dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang secara tegas menolak kemerdekaan Palestina. Pemerintah Israel menilai operasi militernya di Gaza perlu dilakukan untuk menggulingkan dan melucuti senjata Hamas, setelah kelompok tersebut membunuh 1.200 orang dan menculik 250 lainnya dalam serangan pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan. Dari para sandera itu, 50 orang masih berada di Gaza dan sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup menurut pihak Israel.
Negosiasi gencatan senjata di Gaza kembali menemui jalan buntu pada Kamis, dengan AS dan Israel menarik tim perunding mereka dari Qatar, tempat keduanya melakukan pembicaraan tidak langsung dengan Hamas.
“Kami mengutuk keras keputusan Presiden Macron yang mengakui negara Palestina di dekat Tel Aviv menyusul pembantaian 7 Oktober,” kata Netanyahu melalui media sosial. “Langkah seperti itu memberikan hadiah kepada terorisme dan berisiko menciptakan proksi Iran lainnya, seperti halnya Gaza.”
Rubio menambahkan bahwa langkah Prancis “hanya memperkuat propaganda Hamas dan menghambat perdamaian.” Ia menyebut keputusan itu sebagai “tamparan bagi para korban 7 Oktober.”
Macron dan sejumlah pemimpin dunia lainnya semakin geram terhadap serangan militer Israel yang terus berlanjut di Gaza serta pembatasan bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah tersebut. Laporan mengenai bayi kelaparan, anak-anak berdesakan di antrean dapur umum, dan pria berebut kantong tepung, terus bermunculan.
“Sebanyak 2,1 juta orang yang terperangkap di zona perang Gaza kini menghadapi ancaman lain selain bom dan peluru: kelaparan,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, pekan ini.
Konferensi di New York
Macron sebelumnya telah menyatakan sejak tahun lalu bahwa Prancis—yang menjadi rumah bagi komunitas Yahudi dan Muslim terbesar di Eropa—bisa mengakui negara Palestina. Ia bahkan sempat berencana menyelenggarakan konferensi bersama Arab Saudi di New York pada Juni lalu, sebelum akhirnya dibatalkan karena meningkatnya ketegangan militer antara Israel dan Iran.
Pejabat Prancis dan Saudi kini dijadwalkan memimpin konferensi mengenai kenegaraan Palestina pekan depan di New York. Namun, Departemen Luar Negeri AS menyatakan pada Kamis bahwa mereka tidak akan hadir.
Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menerima surat resmi dari Macron terkait keputusan tersebut.
Meski banyak negara Barat mengecam tindakan Israel terhadap warga sipil di Gaza, sejauh ini belum ada negara anggota Kelompok Tujuh (G-7) selain Prancis yang mengambil langkah pengakuan terhadap Palestina. Spanyol, Irlandia, dan Norwegia termasuk negara Barat yang telah lebih dahulu mengakui Palestina.
Pengumuman Macron bisa memberikan tekanan politik kepada Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang kini menghadapi dorongan dari sejumlah pejabat senior di pemerintahannya agar mengikuti langkah serupa.
Namun belum jelas apakah potensi reaksi keras dari pemerintahan Trump akan membuat Starmer lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan tersebut.
Pemimpin Inggris itu mengatakan pada Kamis bahwa “kemerdekaan adalah hak mutlak rakyat Palestina,” dan bahwa gencatan senjata akan membuka jalan bagi Inggris untuk mengakui Palestina, meski ia tidak menetapkan tenggat waktu secara pasti.
Selama bertahun-tahun, Inggris secara formal mendukung solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina, namun dengan syarat melalui perundingan antara kedua belah pihak. Sikap ini juga dianut oleh banyak negara Barat lainnya.
Warga Palestina berharap dapat membentuk negara berdaulat yang mencakup wilayah Gaza dan Tepi Barat, yang secara keseluruhan dihuni lebih dari lima juta orang.
Selama puluhan tahun, upaya perdamaian internasional terus bertumpu pada gagasan kenegaraan Palestina di wilayah-wilayah tersebut, yang dikuasai Israel sejak Perang Enam Hari pada 1967. Perundingan besar terakhir antara kedua pihak terhenti pada tahun 2014.
(bbn)































