Menurut dia, keberadaan aturan di atas memberikan dasar hukum bagi penyelenggara telekomunikasi untuk mendorong pemerintah merealisasikan prinsip-prinsip keadilan, kewajaran dan tak adanya perlakuan yang diskriminatif di antara para penyelenggara telekomunikasi dengan para penyedia layanan yang sama dengan layanan telekomunikasi, seperti WhatsApp Call, WhatsApp Message. Hal ini bertujuan agar kualitas layanan tetap optimal dan kepentingan nasional dapat dilindungi.
Namun hingga kini prinsip-prinsip tersebut belum dan sulit diterapkan karena tekanan kepentingan dari para pelaku OTT bernaung di bawah yurisdiksi hukum yang tidak terjangkau hukum dan regulasi Indonesia.
Sementara itu, lanjut Sarwoto, penyedia OTT telah merasakan manfaatnya yang sangat besar. Pada bagian lain, penyelenggara jaringan telekomunikasinya menanggung beban dominasi trafik OTT.
Ia menilai bahwa diskriminasi penyedia OTT terhadap penyelenggara jaringan telekomunikasi sangat mencolok terjadi pada kewajiban menanggung beban penerimaan negara bukan pajak (PNBP), beban biaya pemeliharaan jaringan, dan beban akuisi pengguna.
“Yang kami sampaikan kepada Komdigi adalah pentingnya implementasi regulasi yang telah dituangkan dalam PP Postelsiar tersebut. Bukan berarti kami mendorong pembatasan layanan,” tegas dia.
Mastel juga “berharap pemerintah mengambil peran aktif dalam memberlakukan prinsip-prinsip keadilan, kewajaran dan non-diskriminasi terhadap pihak-pihak terkait, juga perlu mengedukasi masyarakat, agar penataan ekosistem digital ke depan berjalan adil, sehat,dan berkelanjutan,” imbuh Sarwoto.
Mastel menggarisbawahi bahwa isu penataan OTT tak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga menyangkut keamanan dan perlindungan konsumen.
Kemudian mereka menyoroti maraknya kasus penipuan lewat WhatsApp dan platform OTT lainnya yang sebelumnya ramai diberitakan, mulai dari modus pengambilalihan akun hingga penyebaran tautan palsu yang menjerat korban secara masif.
“Kita juga harus melihat sisi lain dari OTT, yaitu potensi penyalahgunaannya. Kasus-kasus penipuan digital yang menjamur melalui WhatsApp menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan tata kelola yang memadai, pengguna justru menjadi pihak yang paling rentan,” terang Sarwoto.
Mastel mengapresiasi sikap Menkomdigi yang meluruskan informasi keliru di publik dan menegaskan bahwa belum ada pembahasan kebijakan pembatasan dalam forum resmi kementerian. Namun Mastel berharap agar Kemenkomdigi bersama asosiasi bisa mengkaji lebih lanjut isu OTT ini secara menyeluruh, mendorong dan memediasi keterbukaan, serta kerja sama OTT dengan operator telekomunikasi karena menyangkut keberlangsungan industri telekomunikasi nasional sekaligus perlindungan masyarakat sebagai pengguna akhir.
“Kita perlu segera melakukan pendalaman dengan Menkomdigi, agar masyarakat tidak mendapat persepsi yang salah. Karena yang kami dorong adalah implementasi norma yang sudah ada sejak lama, untuk kepentingan bersama,” kata Sarwoto.
(far/wep)































