Logo Bloomberg Technoz

Kedua, pemerintah perlu terus memperbaiki manajemen utang, terutama dengan memperhatikan instrumen pembiayaan yang memiliki biaya bunga lebih rendah. Hal ini termasuk peningkatan porsi Surat Berharga Negara (SBN) berbasis syariah (SBSN) dan memanfaatkan pasar internasional secara strategis melalui penerbitan sukuk global dan Samurai Bonds yang relatif mendapatkan bunga lebih kompetitif.

"Sebagai contoh, penerbitan sukuk global pada 2025 berhasil menarik minat investor cukup tinggi dengan tingkat oversubscription yang baik sehingga menghasilkan tingkat bunga yang lebih efisien dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," ujar Josua kepada Bloomberg Technoz, dikutip Jumat (11/7/2025).

Ketiga, pemerintah dapat memperkuat koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga, karena depresiasi rupiah secara signifikan berpotensi meningkatkan beban pembayaran bunga utang dalam denominasi valuta asing.

Menurutnya, dengan menjaga stabilitas rupiah, risiko kenaikan beban bunga utang dapat diminimalisir secara substansial. Namun demikian, risiko meningkatnya bunga utang di masa depan masih tetap ada. 

Kementerian Keuangan memproyeksikan nilai tukar berada dalam level Rp16.300/US$ hingga Rp16.800/US$ pada semester II-2025. Angka ini melemah dibandingkan dengan target Rp16.000/US$ dalam APBN 2025. 

Di sisi lain, Josua mengatakan terdapat faktor-faktor yang berpotensi meningkatkan bunga utang antara lain adalah volatilitas pasar global yang tinggi, meningkatnya suku bunga global yang dipicu oleh kebijakan moneter negara maju (seperti The Fed), serta potensi depresiasi Rupiah lebih lanjut akibat ketidakpastian global.

Selain itu, ketergantungan yang masih tinggi pada instrumen utang dalam mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat, tetap merupakan risiko yang perlu dikelola dengan cermat.

Menurut Josua, dalam jangka panjang, pemerintah harus terus mendorong reformasi struktural ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi fiskal, memperluas basis pajak, dan meningkatkan daya tahan perekonomian domestik sehingga ketergantungan pada pembiayaan utang dapat dikurangi secara bertahap.

"Dengan pendekatan yang komprehensif ini, pemerintah diharapkan mampu menurunkan beban bunga utang secara berkelanjutan, sekaligus memitigasi risiko lonjakan bunga di masa depan," ujarnya.

Kementerian Keuangan melaporkan pembayaran bunga utang diproyeksi mencapai Rp552,9 triliun pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Angka tersebut lebih besar dari biaya perlindungan sosial dan kesehatan pada APBN 2025.

Pembayaran bunga utang pada 2025 terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri Rp497,6 triliun dan bunga utang luar negeri Rp55,2 triliun.

Pembayaran bunga utang pada tahun ini naik 11,18% dibandingkan dengan Rp497,3 triliun pada APBN Tahun Anggaran 2024.

Angka tersebut sebagaimana termaktub dalam Laporan Pemerintah tentyang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Semester Pertama Tahun Anggaran 2025.

Selama semester I-2025, realisasi pembayaran bunga utang adalah Rp257,1 triliun. Angka itu baru mencapai 46,5% dari APBN Tahun Anggaran 2025. Realisasi tersebut terdiri atas realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp235,2 triliun atau 47,3% dari pagu APBN 2025 dan realisasi pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp21,9 triliun atau 39,7% dari pagu APBN 2025.

Dengan demikian, sisa pembayaran bunga adalah Rp295,8 triliun sepanjang semester II-2025.

"Pembayaran bunga utang merupakan konsekuensi atas pengadaan utang untuk pembiayaan defisit APBN menjadi salah satu beban fiskal penting yang harus dikelola dengan cermat agar tidak mengganggu stabilitas keuangan negara," sebagaimana termaktub dalam laporan tersebut, dikutip Kamis (10/7/2025).

(lav)

No more pages