Dicky mengatakan penularan virus Lujo melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien sebagai mirip dengan penyakit Ebola.
Selain itu penularan juga dapat dilakukan melalui nosocomial yang artinya dikenal sebagai infeksi rumah sakit.
“Saat ini belum ditemukan faktor alami yang pasti. Tapi diduga itu dari hewan pengerat seperti tikus,” kata Dicky.
Sedangkan untuk virus Oropouche menyebabkan demam akut. Penyebaran utama virus ini terdapat kawasan Amerika Selatan, Brasil, Peru.
Faktor utama dari virus ini adalah nyamuk culicoides paraensis dan beberapa jenis nyamuk culek. Namun, kata Dicky belum ada bukti saat ini penularan antarmanusia.
Hanya kata dia berisiko menyebabkan wabah lokal terutama di daerah padat penduduk dan tropis, termasuk Indonesia.
Gejala dan diagnosis dari virus Lujo, kata Dicky masa inkubasinya memakan 7-13 hari yakni pada gejala awal demam tinggi, lemas, nyeri otot, sakit kepala dan gejala paling berat berupa pendarahan hingga syok. Kemudian gagal multiorgan “Ini yang menyebabkan kematian yang sampai 80% tadi,” ujarnya.
“Diagnosa sebetulnya menggunakan alat PCR,” tambahnya.
Sedangkan Oropouche masa inkubasinya lebih singkat yakni 4-8 hari. Gejalanya pun hampir mirip dengan flu seperti demam, nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala dan mual.
“Umumnya kalau Oropouche tidak parah, tetapi sering kambuh, gejalanya ini yang membuat salah diagnosa karena mirip dengan demam berdarah."
Dicky menjelaskan alasan kenapa dua virus ini diangkat, karena Asia menjadi tempat berisiko tinggi penyebaran akibat mobilitas tinggi meski belum terdeteksi.
“Apalagi Indonesia dengan perjalanan ekspatriat, haji, umroh,” kata Dicky.
Lebih lanjut, Dicky mengatakan Oropouche memang belum dilaporkan kasus di Indonesia, tapi keadaan iklimnya cocok untuk vektor serangga virus tersebut.
Apalagi ia melihat potensi ‘reassorment’ genetik dengan virus lain melalui nyamuk lokal sangat besar. Ia menyebut Indonesia memiliki kemungkinan munculnya virus Oropouche melalui zoonosis.
“Tapi tantangannya untuk Indonesia adalah sistem surveillance penyakit baru kita masih lemah,” tutur Dicky.
Indonesia juga belum memiliki tes diagnosa cepat di rumah sakit apalagi di daerah. Potensi besar salah diagnosis virus Oropouche dengan Zika atau Cikungunya.
“Kita punya ketergantungan pada rujukan luar negeri untuk identifikasi virus baru ini. Artinya untuk pemerintah, kita harus memperkuat surveillance emerging infectious disease di bandara, pelabuhan, dan rumah sakit rujukan,” ungkap Dicky.
Diharapkan kata Dicky pemerintah dapat meningkatan laboratorium tipe biosafety level 4 dalam negeri agar bisa mengindentifikasi penyakit langka.
(dec/spt)
































