Pelemahan rupiah agaknya masih terdampak efek tunda rebound dolar AS pada perdagangan Jumat pekan lalu, ketika pasar di Indonesia tutup karena libur perayaan Tahun Baru Hijriyah.
Para pelaku pasar global dan regional sejauh ini masih menunggu perkembangan hasil negosiasi perdagangan antara AS dengan berbagai negara yang ia kenakan tarif resiprokal.
Setelah eskalasi di Timur Tengah mereda, selain fokus pada perkembangan tarif AS, pasar juga akan mencermati laporan ketenagakerjaan AS pekan ini juga data aktivitas manufaktur di beberapa negara utama sepanjang minggu ini.
Pagi tadi, China melaporkan aktivitas manufaktur yang sedikit membaik di angka 49,7 pada Juni, sedikit di atas ekspektasi pasar. Sedangkan PMI sektor jasa Tiongkok juga bergerak naik sedikit di angka 50,5 dari tadinya 50,3 pada Mei.
Sampai sesi pertama perdagangan hari ini, mayoritas bursa Asia bergerak di zona hijau. IHSG juga turut bertahan di zona hijau dengan penguatan 0,24%.
Sementara di pasar surat utang negara, yield 2Y turun ke level 6,044%, bersama tenor 10Y yang juga turun 2,9 bps kini di 6,629%.
Asing menahan diri
Pelemahan rupiah hari ini mengurangi capaian penguatan selama Juni.
Berdasarkan data Bloomberg, dengan posisi saat ini di Rp16.230/US$, rupiah membukukan penguatan 0,4% dibanding posisi akhir Mei lalu. Besar penguatan rupiah selama Juni terbilang kecil bila dibandingkan mata uang Asia lain.
Sebagai gambaran, won Korsel mencetak penguatan sampai 2,52% selama Juni, disusul dolar Taiwan dan dolar Singapura yang masing-masing menguat 2,49% dan 1,4%.
Peringkat penguatan rupiah pada Juni berada di urutan kedelapan, hanya lebih baik dibandingkan yen dan rupee. Sementara peso dan dolar Hong Kong melemah pada periode tersebut.
Besar penguatan rupiah selama Juni itu juga lebih kecil bila dibandingkan bulan sebelumnya yang penguatannya mencapai 1,91%.
Laju penguatan rupiah yang melemah pada Juni sudah diperkirakan menilik pola musiman permintaan valas yang meningkat selama bulan ini. Selain itu, rupiah juga terdampak guncangan eksternal seperti ketika pecah perang di Timur Tengah pada pertengahan bulan ini.
Arus keluar modal asing yang mulai besar di pasar surat utang, agaknya berdampak pada penguatan rupiah yang terbatas.
Di pasar surat utang negara, tren net buy asing yang sudah berlangsung sejak Desember lalu, kemungkinan besar terjegal pada Juni ini.
Berdasarkan data Bloomberg, selama Juni sampai perdagangan pada 24 Juni lalu, investor asing membukukan posisi net sell US$ 531,8 juta atau sekitar Rp8,95 triliun month-to-date.
Adapun di pasar saham, hingga perdagangan terakhir pekan lalu, investor asing masih mencetak posisi net sell senilai US$ 489,3 juta month-to-date.
Rupiah diperkirakan akan cenderung berkonsolidasi di kisaran Rp16.400-Rp16.700/US$ sampai kuartal II tahun depan, seiring langkah Bank Indonesia yang fokus pada stabilitas mata uang memasuki periode musiman 'sedikit negatif' pada semester II, menurut Ahli Strategi Barclays termasuk Mitul Kotecha, dilansir dari Bloomberg News.
"Kami melihat peluang yang terbatas untuk penguatan lebih lanjut dalam beberapa bulan ke depan di tengah prospek investor asing yang masih belum pasti terhadap aset-aset Indonesia," kata Kotecha.
Namun, nilai tukar rupiah telah melemah dalam perhitungan nilai tukar efektif nominal (NEER) dan nilai tukar efektif riil (REER), "Kami tidak memperkirakan akan terjadi aksi jual yang tajam untuk rupiah. Meski kekhawatiran fiskal mungkin telah sedikit mereda, gambaran pertumbuhannya kurang positif," kata Kotecha.
(rui)




























