The New York Times melaporkan bahwa Departemen Kehakiman AS menuntut pengunduran diri Ryan sebagai syarat penyelesaian penyelidikan hak sipil atas kebijakan keberagaman di Universitas Virginia.
Asisten Jaksa Agung untuk Hak Sipil, Harmeet Dhillon, menyatakan bahwa departemen memiliki kebijakan nol toleransi terhadap diskriminasi ilegal di universitas publik yang menerima dana federal.
“Kami sudah menyampaikan hal ini dengan jelas kepada berbagai institusi pendidikan tinggi terkemuka di AS, termasuk Universitas Virginia,” ujar Dhillon, alumni fakultas hukum kampus tersebut. “Jika para pemimpin universitas tidak berkomitmen untuk menghentikan diskriminasi ilegal dalam rekrutmen, penerimaan, dan pemberian manfaat mahasiswa, mereka justru menjerumuskan institusinya dalam bahaya hukum dan finansial.”
Rektor Universitas Virginia, Robert Hardie, mengatakan ia menerima pengunduran diri Ryan “dengan kesedihan yang mendalam” dan memuji kepemimpinannya.
Sebagai pimpinan ke-9 universitas tersebut, Ryan dikenal sebagai pendukung kuat keberagaman. Namun ia juga sering dikritik oleh alumni konservatif dan anggota dewan dari Partai Republik karena dianggap terlalu “woke”. Pada bulan Maret lalu, dewan pengurus bahkan memilih untuk membubarkan kantor DEI di kampus.
Ryan, lulusan fakultas hukum Universitas Virginia, menjabat sebagai presiden sejak 2018 setelah sebelumnya menjadi dekan di Harvard Graduate School of Education.
Ia mengaku telah memutuskan sebelumnya bahwa tahun depan akan menjadi tahun terakhirnya menjabat, dan tidak ingin “menyakiti rekan kerja maupun mahasiswa demi mempertahankan jabatan untuk satu tahun lagi”.
“Meskipun nilai-nilai yang dipertaruhkan di sini sangat penting, secara praktis saya akan berjuang untuk mempertahankan jabatan saya satu tahun lagi dengan mengorbankan orang-orang lain di komunitas ini,” ujarnya. “Jika situasinya tidak begitu terkait langsung dengan saya pribadi, mungkin saya akan mengambil jalan berbeda.”
Pengunduran diri Ryan menambah panjang daftar pemimpin universitas yang mengundurkan diri di tengah tekanan politik dari Partai Republik—bahkan sejak sebelum Trump kembali menjabat pada Januari.
Beberapa rektor universitas swasta mengundurkan diri setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan respons militer Israel di Gaza. Claudine Gay dari Harvard dan Liz Magill dari University of Pennsylvania mundur tak lama setelah memberikan kesaksian di hadapan Kongres yang menuai kritik.
Dua pimpinan Columbia University juga mengundurkan diri dalam waktu kurang dari satu tahun, terkait penanganan isu antisemitisme dan protes pro-Palestina di kampus.
Dalam kasus terbaru yang menimpa universitas negeri, sistem Universitas Florida bulan ini menolak penunjukan Santa Ono, mantan rektor Universitas Michigan sebagai pimpinan. Meski direkomendasikan oleh dewan pengawas, pencalonan Ono diblokir karena dukungannya terhadap program keberagaman.
Dua senator Demokrat asal Virginia, Mark Warner dan Tim Kaine, mengecam intervensi pemerintahan Trump terhadap universitas yang didirikan oleh Thomas Jefferson pada 1819 itu. Mereka menyebut pengunduran diri Ryan sebagai kesalahan yang akan merugikan masa depan negara bagian.
“Sungguh keterlaluan jika pejabat di Departemen Kehakiman Trump menuntut agar universitas kelas dunia milik negara bagian mencopot Presiden Ryan, seorang pemimpin kuat yang telah menjalankan tugasnya dengan terhormat dan memajukan UVA hanya karena jebakan politik perang budaya,” kata mereka dalam pernyataan bersama.
Gubernur Virginia dari Partai Republik, Glenn Youngkin, pekan ini menunjuk empat anggota baru dewan pengurus, termasuk wakil ketua di Goldman Sachs dan mantan CFO Carlyle Group Inc., perusahaan investasi tempat Youngkin pernah menjadi co-CEO.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Ryan atas pengabdiannya bagi Universitas Virginia,” ujar Youngkin dalam pernyataan. “Saya percaya penuh pada dewan pengurus untuk segera menunjuk pemimpin sementara yang kuat dan memulai pencarian nasional bagi pemimpin transformatif selanjutnya.”
Jeri Seidman, ketua senat universitas terpilih, mengaku terkejut dan khawatir terhadap dampak jangka panjang dari kejadian ini terhadap dunia pendidikan tinggi.
“Setiap dosen, staf, mahasiswa, orang tua, dan alumni kini harus khawatir bahwa pemerintah federal bisa ikut campur dalam penunjukan pemimpin kampus,” kata Seidman, dosen di McIntire School of Commerce. “Dulu Columbia, lalu Harvard, dan kini kami. Kalau kami bisa jadi target, maka kampus mana pun bisa.”
(bbn)


































