Jumlah penduduk RI berjenis kelamin perempuan mencapai 49%, sebanyak 140,89 juta jiwa, juga membuat prospek industri kecantikan dan perawatan pribadi di Tanah Air jadi lebih cerah. Kaum hawa sejauh ini masih menjadi target konsumen utama produk kecantikan di tengah pangsa konsumen laki-laki yang terus berkembang.
Mengutip Statista, pada tahun ini, nilai pendapatan pasar kosmetik di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 2,09 miliar, sekitar Rp34,23 triliun. Pertumbuhan tahunan diperkirakan mencapai 4,73% selama periode 2025-2030.
Sementara bila menghitung keseluruhan pendapatan industri kecantikan dan perawatan pribadi di Tanah Air, proyeksi riset Statista yang dilansir Februari lalu, mendapati nilai pasar industri ini diperkirakan mencapai US$ 9,7 miliar tahun ini, sekitar Rp158,8 triliun dengan potensi pertumbuhan 4,33% per tahun sampai 2030 nanti.
Riset yang pernah dilansir pada tahun 2024 lalu oleh YCP Solidiance Analysis, perusahaan konsultan asal Singapura, mendapati, lini bisnis perawatan wajah (facial care) masih jadi yang terbesar di industri skincare di Indonesia dengan porsi mencapai 57% dari total pasar. Produk tabir surya jadi yang terbesar di lini ini.
Penduduk berusia 18-29 tahun adalah konsumer terbesar industri ini, mencapai 41% diikuti oleh konsumen berusia 30-39 tahun. Mayoritas konsumen pasar ini adalah perempuan, setara 63%, dengan jumlah konsumen pria yang terus bertumbuh.
Melihat profil pendapatan, kebanyakan konsumen produk kecantikan di Indonesia berasal dari rumah tangga dengan pendapatan tahunan menengah dan tinggi, dengan proporsi masing-masing 35% dan 39%.
Nilai alokasi belanja produk perawatan kulit di Indonesia pada 2023, mencapai Rp100.000-Rp400.000 per bulan per orang dengan proporsi mencapai 61% dari total konsumen.
Selain menimbang keamanan produk, konsumen industri ini paling concern dengan kandungan atau ingredients produk, harga yang terjangkau serta stempel halal.
Riset yang sama mendapati, industri kecantikan di Tanah Air sejauh ini masih didominasi oleh pemain dan merek lokal. Merek Wardah yang diproduksi oleh Paragon Technology and Inovation adalah salah satu pemain kunci yang menjadi merek utama di Indonesia.
Merek produk kecantikan lokal setara dengan 60% dari total. Sementara produk kecantikan impor, porsinya mencapai 19%. Produk skincare impor kebanyakan berasal dari Tiongkok dengan share mencapai 20,2%, disusul Jepang dan Prancis serta Amerika Serikat masing-masing 19%, 10% dan 9%.
Kemerosotan Kelas Menengah
Hanya, prospek industri kecantikan termasuk produk skincare, kosmetik serta personal care lain, bisa terjegal bila kemerosotan kelas menengah yang sudah terjadi lima tahun terakhir, terus berlanjut.
Produk kosmetik dan skincare termasuk kategori belanja tersier alias nonmakanan. Ketika nilai pendapatan kian mengecil atau tak mampu mengimbang laju kenaikan harga, seseorang akan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan.
Sebaliknya, ketika pendapatan membesar atau memadai, pengeluaran nonmakanan umumnya ikut meningkat.
Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah di Indonesia sudah berkurang 9,5 juta orang menjadi tinggal sebanyak 47,85 juta orang pada 2024. Kini, populasi di Indonesia didominasi oleh calon kelas menengah dan rentan miskin, dengan jumlah masing-masing mencapai 137,5 juta orang dan 68,51 juta orang.
Analisis yang pernah dilansir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyebutkan, sepanjang 2010-2023, proporsi pendapatan orang Indonesia yang dikeluarkan untuk konsumsi mencatat tren penurunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.
Pada 2010 lalu, proporsi disposable income terhadap PDB per kapita Indonesia masih sebesar 78,9%. Namun, trennya terus menurun hingga pada 2023 tinggal 72,7%. Disposable income menggambarkan nilai maksimal pendapatan masyarakat yang tersedia, setelah dikurangi pajak, yang bisa digunakan untuk konsumsi.
Pemulihan kelas menengah di Indonesia akan menjadi titik balik yang bisa membawa kebangkitan ekonomi, termasuk menjadi dorongan besar bagi industri-industri segmen gaya hidup seperti kosmetik dan personal care. Sebaliknya, bila kelesuan terus berlanjut dengan kekuatan konsumsi kelas menengah tak mampu diungkit, laju pertumbuhan industri ini bisa turut terdampak.
Mengacu Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia, kelas menengah mencatat penurunan indeks durable goods yang terdalam.
Indeks Pembelian Barang Tahan Lama menjadi salah satu ukuran tingkat daya beli masyarakat karena ia mengukur persepsi pembelian barang nonmakanan.
Hampir semua kelas pengeluaran mencatat penurunan indeks durable goods, kecuali konsumen terbawah. Tiga kelas pengeluaran menengah, yaitu mulai Rp3,1 juta hingga di atas Rp5 juta per kepala per bulan, mencatat penurunan sampai double digit.
Bila melihat lebih dalam pada perkembangan kondisi keuangan konsumen, terlihat juga bila konsumsi melemah di hampir semua kelas pengeluaran bawah hingga menengah atas. Hanya konsumen atas yang masih mencatat kenaikan proporsi konsumsi.
(rui/aji)




























