"Transmisi penurunan suku bunga sebelumnya ke bunga kredit masih berjalan, artinya itu saja lambat. Apalagi kalau BI menurunkan suku bunga lagi, dampaknya juga tidak akan instan ke dalam suku bunga kredit perbankan," jelasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Pengamat Ekonomi SigmaPHI Indonesia Hardy R Hermawan, katanya jika BI menurunkan suku bunga acuan di tengah kondisi inflasi saat ini yang relatif terkendali akan menimbulkan risiko yang tak diinginkan kemudian hari.
"BI diduga akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 5,50%. Dugaan ini didasarkan pada pertimbangan makro dan moneter yang saling terkait serta kondisi aktual yang berlangsung," sebutnya pada Bloomberg Technoz.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1-2025 yang melambat menjadi 4,87% membuat BI harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan moneter agar tidak memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih jauh, namun juga tidak mengorbankan kestabilan makroekonomi.
"Efek dari penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin yang dilakukan BI pada Mei 2025 juga masih dalam proses penyerapan pasar, mengingat adanya lag atau jeda waktu antara perubahan kebijakan moneter dengan dampaknya terhadap pertumbuhan kredit dan investasi. BI biasanya menunggu beberapa bulan untuk melihat hasil dari kebijakan sebelumnya sebelum mengambil keputusan baru," jelasnya.
Menurut Hardy, risiko eksternal yang cukup signifikan seperti ketegangan geopolitik yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga minyak hingga sekitar US$100 per barel menjadi faktor pembatas ruang pelonggaran kebijakan moneter.
"Kebijakan moneter The Fed Amerika Serikat yang masih cenderung ketat membuat BI harus menjaga selisih suku bunga agar tetap menarik bagi investor asing sehingga aliran modal tetap stabil," pungkasnya.
(mef)
































