Sebelum ada Dirjen Gakkum, Yuliot menyampaikan evaluasi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sudah berlangsung sejak 2022.
Kementerian ESDM mengevaluasi sejumlah IUP yang tidak berkegiatan, dan sudah ada 2.078 IUP yang dicabut pada 2022.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti ihwal indikasi kerugian TINS mencapai Rp34,49 triliun akibat potensi kehilangan sumber daya timah di wilayah kerja perseroan.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK menyebut TINS tidak mampu melakukan pengamanan sumber dayanya, sehingga berdampak pada dugaan praktik penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) TINS.
Hal itu terindikasi dari kepemilikan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah yang terbesar di Indonesia untuk sektor timah, tetapi produksinya tidak sesuai dengan luasan IUP yang dimiliki.
Pengamanan area penambangan yang tidak optimal tersebut dinilai berpotensi mengakibatkan kehilangan sumber daya timah pada periode 2013—semester I-2023.
“Hal ini mengakibatkan terjadinya potensi kehilangan sumber daya timah yang berisiko merugikan perusahaan sebesar Rp34,49 triliun dan membutuhkan proses verifikasi lebih lanjut oleh PT Timah Tbk,” tulis BPK dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (27/5/2025).
Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Restu Widiyantoro mengatakan perseroannya bakal meningkatkan pengawasan atas WIUP dari pertambangan liar.
Restu mengatakan upaya peningkatan pengamanan WIUP dari praktik tambang ilegal itu bakal menjadi fokus kerja 100 hari mendatang setelah dilantik sebagai Direktur Utama TINS bulan lalu.
“Kami coba tingkatkan minimal 30% dari wilayah di IUP kita bisa aman dari kegiatan-kegiatan yang hilang,” kata Restu di Jakarta dikutip Jumat (13/6/2025).
Restu mengatakan perseroannya telah menggandeng institusi penegak hukum lainnya untuk ikut mengawasi dan menindak praktik pertambangan tanpa izin (PETI) di lingkungan WIUP TINS.
Restu mengakui saat ini kegiatan PETI terbilang masif di WIUP TINS yang belakangan ikut disorot BPK.
Situasi itu, kata dia, ikut mengoreksi torehan produksi timah dari perseroan beberapa tahun terakhir.
“Adanya kelemahan kita sehingga hasil pengumpulan bijih timah dan proses-proses berikutnya selama ini tidak bisa maksimal,” kata Restu.
(naw)































