Sedangkan dalam perhitungan tahunan, penjualan ritel pada April terkontraksi 0,3% year-on-year (yoy), direvisi naik dari perkiraan sebelumnya tumbuh negatif 2,2% yoy.
Memasuki Mei, kinerja penjualan ritel diprediksi masih akan tumbuh negatif 0,6% mtm. Namun, mulai membaik secara tahunan dengan perkiraan pertumbuhan 2,6% yoy.
Sektor Terkontraksi
Kinerja penjualan April yang terpuruk adalah karena pertumbuhan negatif di semua sektor eceran dibandingkan bulan sebelumnya.
Kontraksi terdalam dicatat oleh sektor penjualan pakaian yang turun hingga 19,2% mtm pada April. Disusul oleh sektor barang lainnya -14,7% dan penjualan peralatan informasi dan komunikasi yang tergerus 9,4%. Bahkan pada April lalu, sektor makanan, minuman dan tembakau, juga terkontraksi sampai 5,6% setelah saat Lebaran tumbuh 4,5% mtm.
Sedangkan secara tahunan, kontraksi terdalam dicatat oleh sektor peralatan informasi dan komunikasi yang tumbuh negatif hingga 25,1% yoy, terdalam sejak Oktober tahun lalu.
Sektor perlengkapan rumah tangga lainnya juga terkontraksi hingga 10,5%, disusul sektor barang lainnya, dan penjualan pakaian masing-masing tumbuh negatif 2,3% dan 5,4% yoy.
Laju yang lebih kuat hanya dicatat oleh sektor bahan bakar kendaraan bermotor, yang tumbuh 8,3% yoy setelah pada Maret hanya tumbuh 3,3%. Sementara penjualan makanan, minuman dan tembakau juga melemah jadi cuma naik 1,2% pada April, setelah bulan sebelumnya naik 6,8% yoy.
Juli Bisa Membaik
Survei juga mendapati, kinerja penjualan pada Mei yang sedikit membaik secara tahunan meski masih melanjutkan kontraksi bulanan, diperkirakan masih akan lesu pada Juni.
Indeks Ekspektasi Penjualan pada Juni turun jadi 125,5, dibanding posisi 147,3 pada periode sebelumnya. "Responden menginformasikan bahwa penurunan indeks pada Juni dipengaruhi oleh musim ujian sekolah," jelas Bank Indonesia.
Kinerja penjualan kemungkinan ada harapan membaik pada Juli seiring kedatangan puncak musim liburan sekolah dan mid season sale yang jatuh pada bulan ketujuh. "Sehingga peritel menerapkan strategi potongan harga," kata Bank Indonesia.
Indeks Ekspektasi Penjualan pada Juli tercatat naik ke level 145,8 dari posisi bulan sebelumnya. Perbaikan penjualan bertahan sampai Agustus, dengan indeks naik ke 162,8.
Namun, setelah itu, yakni pada September penjualan akan kembali lesu dengan Indeks Ekspektasi Penjualan turun ke 137,1 lantas sedikit membaik pada Oktober dengan indeks naik menjadi 149,3.
Ekspektasi Inflasi
Meski ada greget perbaikan kinerja penjualan eceran pada Juli, namun ekspektasi harga tetap rendah.
Indeks Ekspektasi Harga pada Juli diperkirakan turun menjadi ke level 141,9. Ekspektasi inflasi yang melemah itu melanjutkan tren serupa sejak Mei dan Juni.
Inflasi diperkirakan akan cukup stabil pada Agustus, sebelum berlanjut menurun lagi pada September dan Oktober.
Sebagai catatan, pada Mei terjadi deflasi 0,37% mtm. Inflasi inti yang menjadi salah satu indikator permintaan dalam ekonomi, juga turun dari 2,5% pada April menjadi 2,4% di bulan Mei, membawa laju inflasi tahunan melandai di 1,6% yoy.
Ekspektasi inflasi yang melandai di tengah kelesuan daya beli yang terlihat belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, mungkin akan mendorong Bank Indonesia melanjutkan lagi pelonggaran moneter melalui penurunan suku bunga acuan, BI rate. Namun, peluang itu masih akan melihat kondisi rupiah yang kembali dibayangi risiko pasca pecah serangan Israel pada Iran pada Jumat pagi ini.
Survei Bloomberg terhadap 27 institusi menghasilkan konsensus 5,50%. Itu berarti, mayoritas pelaku pasar memperkirakan, BI akan menahan bunga acuan pada pertemuan pekan depan, setelah memangkas sebanyak 25 basis poin pada RDG bulan April.
Namun, peluang penurunan BI rate masih terbuka di sisa tahun. Terbaru, lembaga pemeringkat global S&P Global Ratings, memprediksi, BI rate mungkin akan turun hingga ke level 4,75% tahun ini.
Perkiraan itu dilandasi oleh tren inflasi rendah di Indonesia juga makin stabilnya rupiah seiring dengan tren bearish dolar AS di pasar global yang menguntungkan rupiah.
(rui/aji)
































