Logo Bloomberg Technoz

Menurut kalkulasi David Allen dari Plato, setiap unit iPhone terbebani sekitar US$109 (Rp1,7 juta ) atas tarif impor 25% Trump. Simulasi ini dengan menghitung harga rerata iPhone US$437.

Harga iPhone saat ini bervariasi namun secara rerata berada di US$1.000.

“Ini adalah pajak bagi rakyat Amerika, jelas dan sederhana. Ancaman ini lebih bersifat simbolis daripada praktis - ini tentang agenda proteksionis yang menghadapi tantangan kelayakan yang signifikan,” ucap Allen.

China adalah pusat manufaktur pilihan Apple karena kemampuannya dalam mengorganisasi perangkat hingga tenaga kerja secara fleksibel. Tantangan tarif 25% menjadi hal yang harus segera diatasi oleh Apple dalam waktu dekat, dengan pilihan mengikuti kemauan Trump yakni merelokasi pusat produksi.

“Setiap tahun sekitar hari Natal, Anda mendapatkan iPhone baru atau upgrade Samsung, dan tiba-tiba, Anda perlu mempekerjakan 100.000 pekerja dalam beberapa minggu,” kata manajer portofolio pasar negara berkembang Northcape Capital, Ross Cameron. “Permintaan jangka pendek yang tidak stabil seperti itu sangat sulit untuk dikelola di AS, di mana tenaga kerja seperti itu tidak ada.”

Tarik ulur hubungan Trump dan Apple terjadi dalam tiga bulan terakhir, dimana Amerika berambisi mewujudkan agenda membangun kembali industri manufakturnya. Janji Apple untuk berinvestasi lebih banyak di tanah AS juga dianggap belum cukup bagi Trump.

Toko Apple di Fifth Avenue, New York, Amerika. (Yuki Iwamura/Bloomberg)

Situasi pelik tengah dihadapi Tim Cook selaku CEO, pasalnya Apple memang perusahaan asal Cupertino, California, Amerika, namun sejatinya iPhone secara khusus telah menjelma seabgai perangkat global.

Apple telah mengelola rantai pasoknya di lebih dari 40 negara, dan sebagian besar proses manufakturnya terpusat di Asia, terutama di China dan India. Bahkan kompleks pabrik Foxconn di Zhengzhou, China, sering dijuluki, lantaran telah mempekerjakan ratusan ribu orang dan dilengkapi dengan fasilitas pendukung lengkap seperti sekolah, klinik, bahkan asrama. Di sinilah sebagian besar iPhone dirakit—sebuah operasi industri dengan skala dan efisiensi yang belum bisa ditiru oleh negara mana pun, termasuk AS.

Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam argumen “membawa manufaktur pulang kerumahnya" adalah mengabaikan realitas ekosistem industri yang kompleks. Produksi iPhone tidak hanya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, tetapi juga jaringan pemasok komponen, teknologi perkakas tingkat tinggi, dan ribuan teknisi terampil yang mana semua ini telah terakumulasi selama puluhan tahun di Asia.

Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda saat berbincang dengan Bloomberg Technoz juga menyampaikan bahwa memaksa pabrik iPhone pindah ke Amerika bisa menjadi bumerang bagi Apple. Meskipun langkah ini adalah bagian dari niat Trump memagari lalu perdagangan Amerika dengan kebijakan tarif impor.

“Percuma jika ada keinginan menarik kembali perusahaan AS dari negara lain tapi cost of investment tinggi. Tapi jika diturunkan rate of investment maka inflasi tidak akan terkendali. Dalam jangka tertentu akan membuat ekonomi AS akan memburuk. Daya beli masyarakat akan anjlok,” terang Huda.

Trump berkilah jika semua proses produksi bisa diotomatisasi. Menteri Perdagangan Howard Lutnick bahkan mengatakan hal tersebut dalam wawancaranya dengan CBS, yang mengisyaratkan bahwa "pasukan yang terdiri dari jutaan dan jutaan manusia akan diotomatisasi." Namun bagi seseorang  yang mengetahui rantai pasokan Apple yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, menegaskan, "setiap perubahan kecil bisa berarti perlu membangun ulang jalur produksi." Dan "laju perubahan membuat otomatisasi menjadi jauh lebih sulit."

Apple Dikabarkan Siapkan 7 Fitur Baru di iPhone 18 Pro (Bloomberg Technoz/Arie Pratama)

(prc/wep)

No more pages