Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro sebelumnya mengatakan pemerintah masih menunggu kabar dari BUMN asal Rusia dan mitranya perusahaan migas asal Inggris, Harbour Energy, untuk menuntaskan divestasi atau farm out di Blok Tuna.
“Setahu saya ini masih bergerak, masih berproses. Jadi itu yang kita lagi coba push. Cuma sistemnya itu mereka masih B2B [business to business]. Karena itu masih di level fungsi, fungsi teknis. Jadi belum ada ini [info] resmi kepada kita. Ya kalau seumpamanya di-update, tetapi kan enggak bisa saya release,” kata Hudi di sela agenda MedcoEnergi National Media Engagement, awal Desember.
Hudi menerangkan kondisi geopolitik mengakibatkan Harbour itu tidak bisa melakukan transaksi dengan perusahaan Rusia ataupun wilayah Eropa lainnya. Hal itu diindikasikan menjadi penyebab mundurnya penyelesaian proses divestasi Blok Tuna pada tahun ini.
“Ya intinya karena enggak bisa [tahun] ini, akhirnya mereka rencananya memang akan melakukan divestasi. Akan tetapi kepada siapa, ininya siapa, ya itu kita masih berprogress. Kita juga masih menunggu,” tutur Hudi.
“Ya intinya masih belum divestasi. Intinya sih di situ. Ya kita inginnya sih ini bisa bergerak cepat, karena kan potensi Blok Tuna-nya juga bagus,” lanjut Hudi.
Hudi mengeklaim, SKK Migas masih terus mengupayakan untuk mendapatkan informasi baik dari JJSC Zarubezhneft maupun Harbour untuk menyelesaikan divestasi Blok Tuna.
“Kita dari zamannya Pak Dwi [Soetjipto, Kepala SKK 2018—2024] kan sudah kita push terus. Itu tiap Bu Asnidar [Kepala Divisi Prospektivitas Migas] itu hubungin Harbour sama ZN-nya juga bolak-balik untuk minta update,” ujarnya.
SKK Migas mengatakan target produksi atau onstream dari Blok Tuna berpotensi mundur dari 2026 ke 2027, menyusul hengkangnya JJSC Zarubezhneft dari Rusia di proyek tersebut.
Kendati demikian, saat itu Dwi memastikan terdapat tiga perusahaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang potensial menggantikan Zarubezhneft di Blok Tuna. Termasuk di antaranya calon investor dari Vietnam.
Sekadar catatan, perusahaan migas asal Inggris, Harbour Energy, memutuskan untuk mengundur investasi akhir atau final investment decision (FID) terhadap pengembangan Blok Tuna, di Laut Natuna Timur hingga 2025.
Pemerintah Indonesia padahal telah memberikan persetujuan untuk rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Lapangan Tuna sejak Desember 2022.
Lewat keterbukaan informasi, Harbour tak menampik jika pengunduran rencana itu investasi itu imbas sanksi Uni Eropa (UE) dan Inggris terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Hal ini berdampak pada salah satu mitra perusahaan tersebut di Blok Tuna yang merupakan BUMN Migas asal Rusia, Zarubezhneft.
"Di tempat lain di Indonesia, kami berupaya untuk mengembangkan rencana pengembangan lapangan yang telah disetujui untuk penemuan Tuna kami yang terkena dampak sanksi UE dan Inggris," ujar Chief Executive Officer (CEO) Harbour Energy, Linda Zarda Cook dalam keterbukaan informasi, Agustus.
"Kami terus melakukan diskusi konstruktif dengan Pemerintah Rusia sebagai mitra kami, dan pemerintah Indonesia untuk mencapai solusi, tetapi tidak mengantisipasi untuk dapat memulai FID hingga tahun depan [2024], yang berarti potensi keputusan investasi akhir akan diambil pada 2025," kata dia.
Adapun, Zarubezhneft lewat anak usahanya ZN Asia Ltd memegang 50% hak partisipasi Blok Tuna, bersama dengan Harbour Energy Group melalui anak usahanya Premier Oil Tuna BV, yang menggenggam 50%. Adapun, proses penggantian investor dilakukan melalui skema B2B.
Blok migas yang terletak di lepas pantai Natuna Timur itu dioperatori perusahaan migas asal Inggris Premier Oil Tuna BV, salah satu anak usaha Harbour Energy Group dengan hak partisipasi 50%, dan Zarubezhneft, lewat anak usahanya ZN Asia Ltd. ikut memegang 50% hak partisipasi Blok Tuna.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMSCFD).
Selain itu, investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
(wdh)
































