“Dia lagi mau joint study-nya sudah selesai. Dia lagi cari partner. Paling enggak empat partner yang diajak nanti sama Kufpec. Salah satunya Pertamina, Medco, satu lagi, nah saya lupa,” ungkapnya saat ditemui di sela pergelaran IPA Convex hari pertama.
Lapangan D-Alpha Blok East Natuna, Pulau Natuna, Kepulauan Riau sebelumnya sempat dilelang ulang oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada akhir Juli 2023.
Blok tersebut merupakan salah satu wilayah kerja (WK) migas paling menantang di Indonesia lantaran memiliki kandungan karbondioksida (CO2) yang tinggi mencapai 71%.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Lapangan D-Alpha Blok East Natuna memiliki potensi kandungan gas mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF). Namun, tingginya kandungan CO2 membuat kandungan gas yang bisa dieksploitasi kemungkinan hanya sekitar 46 TCF.
Tidak hanya itu, tantangan lain yang harus dihadapi dalam pengelolaan Lapangan D-Alpha adalah isu geopolitik. Ladang gas tersebut bersinggungan langsung dengan Laut China Selatan (LCS) yang menjadi sumber kekisruhan antara China dan Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya.
Sejak pertama kali ditemukan adanya kandungan gas pada 1973, Lapangan D-Alpha Blok Natuna belum juga digarap atau dieksploitasi.
Raksasa migas asal AS, ExxonMobil sebenarnya sudah mengantongi hak partisipasi atau participating interest (PI) pada 1989, tetapi tak kunjung digarap hingga akhirnya pemerintah mencabut hak tersebut pada 2007.
Pada 2008, pemerintah menyerahkan pengelolaan ladang gas tersebut ke PT Pertamina (Persero). Perusahaan migas pelat merah itu kemudian membentuk konsorsium yang terdiri dari ExxonMobil, Total Exploration and Production (E&P), Petroliam Nasional Berhad atau Petronas, dan PTT Exploration and Production (PTT EP) Thailand.
Konsorsium itu akhirnya bubar di tengah jalan. ExxonMobil memutuskan untuk hengkang pada 2017 dengan pertimbangan kelayakan bisnis di WK tersebut, diikuti oleh PTT EP tidak berselang lama.
(wdh)


























