Perwakilan dari Departemen Keuangan AS dan Gedung Putih belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.
Pasar keuangan utama langsung bereaksi cepat atas keputusan Moody’s. Imbal hasil obligasi pemerintah AS (Treasury) tenor 10 tahun melonjak hingga 4,49%. Di sisi lain, dana indeks (ETF) yang melacak S&P 500 turun 0,6% dalam perdagangan setelah jam pasar.
“Penurunan peringkat ini bisa menjadi sinyal bahwa investor akan menuntut imbal hasil lebih tinggi untuk obligasi pemerintah AS,” ujar Tracy Chen, manajer portofolio di Brandywine Global Investment Management. Ia menambahkan, meskipun aset-aset AS sempat menguat pasca penurunan peringkat oleh Fitch dan S&P, “belum bisa dipastikan apakah pasar akan bereaksi berbeda kali ini, mengingat status Treasury dan dolar AS sebagai aset aman kini agak diragukan.”
Langkah Moody’s dilakukan di tengah defisit anggaran federal yang mendekati angka US$2 triliun per tahun, atau lebih dari 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pelemahan ekonomi AS akibat perang tarif global diperkirakan akan memperparah defisit karena belanja pemerintah cenderung meningkat saat aktivitas ekonomi melambat.
Outlook ini muncul ketika total utang AS telah melampaui ukuran ekonominya sendiri, imbas dari pinjaman besar-besaran sejak pandemi Covid-19. Naiknya suku bunga dalam beberapa tahun terakhir juga menambah beban pembayaran bunga utang pemerintah.
Pada Mei lalu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent memperingatkan para legislator bahwa AS berada pada jalur fiskal yang tidak berkelanjutan. “Angka utangnya memang mengkhawatirkan,” ujarnya. “Krisis bisa terjadi dalam bentuk ‘pemberhentian mendadak’ dalam perekonomian ketika kredit menghilang. Saya berkomitmen untuk mencegah hal itu terjadi.”
Para legislator tengah mengupayakan paket reformasi pajak yang mencakup perpanjangan sejumlah ketentuan dari Undang-Undang Pemotongan Pajak 2017. Komite Gabungan Urusan Pajak memperkirakan total biaya dari RUU ini mencapai US$3,8 triliun dalam satu dekade ke depan, meski analis independen memperkirakan angkanya bisa jauh lebih besar jika sejumlah ketentuan sementara diperpanjang.
Namun, pada Jumat lalu, sebuah komite kunci di DPR gagal meloloskan RUU pajak dan pengeluaran versi Partai Republik, setelah sekelompok konservatif garis keras yang menentang Donald Trump memblokir RUU tersebut karena khawatir akan biaya yang ditimbulkan.
Joseph Lavorgna, mantan anggota Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih di masa pemerintahan Trump pertama, menyebut waktu penurunan peringkat ini sebagai “sangat janggal”, mengingat Kongres sedang membahas RUU penting tersebut. Ia juga menyebut bahwa rasio utang terhadap PDB sebesar 100% “bukan hal yang aneh” di kancah global. Lavorgna, yang kini menjabat Kepala Ekonom AS di SMBC Nikko Securities, menambahkan, “AS adalah negara industri dengan pertumbuhan tercepat dan produktivitas per kapita terbaik. Jadi penurunan ini terasa tidak masuk akal.”
Prospek yang Mengkhawatirkan
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperingatkan pada Januari bahwa pemerintah AS diperkirakan akan melampaui rekor tingkat utang yang ditetapkan setelah Perang Dunia II dalam empat tahun ke depan, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 107% pada 2029.
Perkiraan itu belum memperhitungkan dampak potensial dari pemotongan pajak besar-besaran yang dirancang Partai Republik, yang menurut ekonom akan menambah triliunan dolar ke defisit pemerintah dalam dekade mendatang. Dalam jangka panjang, belanja federal untuk program Jaminan Sosial dan Medicare—akibat populasi yang menua—juga akan terus mendorong utang, ditambah kenaikan suku bunga yang membuat biaya pembayaran utang makin mahal.
CBO menyebut dalam laporan bulan Maret bahwa risiko krisis fiskal “masih rendah,” meskipun tingkat bahayanya sulit diukur secara pasti.
Moody’s memperkirakan “defisit federal akan melebar, mencapai hampir 9% dari PDB pada 2035, naik dari 6,4% pada 2024, terutama karena meningkatnya pembayaran bunga utang, kenaikan belanja jaminan sosial, dan rendahnya pendapatan negara.”
Moody’s juga menyoroti kenaikan imbal hasil Treasury sebagai salah satu faktor yang membebani keberlanjutan fiskal AS. Imbal hasil antara 4% hingga 5% kini mendekati tingkat sebelum krisis keuangan 2007.
Jalur Menuju Penurunan
Penurunan peringkat oleh Moody’s ini telah dipertimbangkan sejak November 2023, ketika lembaga itu menurunkan prospek kredit AS dari stabil menjadi negatif, meski saat itu masih mempertahankan peringkat Aaa. Biasanya, perubahan prospek ini diikuti oleh tindakan pemeringkatan dalam kurun waktu 12 hingga 18 bulan.
Moody’s menjadi lembaga terakhir dari tiga pemeringkat besar yang mencabut peringkat tertinggi AS. Fitch Ratings menurunkan peringkat AS pada Agustus 2023 ke AA+ karena kekhawatiran atas kebuntuan politik terkait pagu utang yang nyaris membuat negara itu gagal bayar.
Sementara itu, S&P Global Ratings merupakan lembaga pertama yang mencabut peringkat AAA untuk AS pada 2011, dan sempat mendapat kritik keras dari Departemen Keuangan saat itu.
(bbn)