Bloomberg Technoz, Jakarta – Keputusan pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya dinilai tidak akan serta-merta mengatasi masalah kelancaran program mandatori biodiesel B40.
Per 17 Mei 2025, PE CPO secara efektif ditetapkan sebesar 10% dari sebelumnya 7,5%, guna membantu menopang aliran dana ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk kebutuhan "subsidi" biodiesel dan peremajaan lahan sawit (replanting).
Dalam kaitan itu, dosen Universitas Sains Indonesia Syaiful Bahari mengatakan persoalan utama pemenuhan target B40 tidak hanya pada pendanaan dari BPDPKS, tetapi juga produktivitias nasional perkebunan kelapa sawit.
“Produksi nasional CPO pada 2024 sekitar 48,16 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO untuk biodiesel sebesar 12,18 juta ton atau 24% dari total produksi CPO nasional. Ekspor CPO sendiri mencapai 21,6 juta ton. Separuhnya digunakan untuk bahan baku pangan, kosmetik, obat-obatan, dan lainnya,” terangnya saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).

Menurut Syaiful, jika program biodiesel ditingkatkan menjadi B40 tahun ini, kebutuhan bahan baku CPO untuk biodiesel akan naik sekitar 35% dari kebutuhan eksisting.
“Belum lagi, pertumbuhan [kebutuhan CPO untuk] industri pangan dan industri lainnya, maka akan terjadi persaingan ketat dalam memperebutkan CPO di dalam negeri,” ujarnya.
Di sisi lain, produktivitas lahan sawit tidak naik dari rata-rata 12,8 ton/hektare (ha). Sebagai perbandingan, Syaiful mengatakan produktivitas lahan sawit Malaysia mencapai 19 ton/ha.
Dengan demikian, dia berpendapat untuk mencapai target mandtori B40, penaikan PE CPO saja bukan jalan yang tepat.
“Kalaupun pungutan ekspor naik, alokasinya juga tidak berdampak kepada peningkatan produksi sawit nasional. Bahkan, anggaran untuk peremajaan sawit rakyat juga hanya menerima 0,3 % dari total pendapatan ekspor yang sebesar Rp50 triliun,” tuturnya.
Ketentuan tarif PE CPO baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan pada Kementerian Keuangan.
Adapun, tarif PE CPO sebesar 10% berlaku efektif per 17 Mei 2025, alias 3 hari sejak tanggal diundangkan pada 14 Mei 2025.
Aturan itu juga ditujukan guna dapat "memberikan nilai tambah produk hilir di tingkat petani," yang juga menajdi bagian pendanaan program biodiesel yang tengah digalakkan pemerintah
Kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan pemasukan yang lebih tinggi bagi BPDPKS, sebagai pemberi dana untuk mendukung perluasan program pencampuran biodiesel dan peremajaan kembali perkebunan sawit tua.

Kecukupan Dana
S&P Global sebelumnya memperkirakan Indonesia dapat mengantongi US$1,4 miliar—US$2,1 miliar untuk mendanai biodiesel B40 dengan skema pungutan ekspor CPO yang baru.
Berdasarkan laporan Global Biofuels Special Report yang dilansir medio April, S&P Global Commodity Insights memperkirakan harga CPO pada 2025 berada di rentang US$800—US$1.100 per ton.
“Dengan demikian, berdasarkan struktur pungutan ekspor [PE] CPO yang baru, Pemerintah Indonesia bisa mengumpulkan sekitar US$1,4 hingga US$2,1 miliar,” papar lembaga tersebut.
Untuk membiayai mandatori B40, S&P memperkirakan Indonesia akan membutuhkan pendanaan dari BPDPKS setidaknya senilai US$1,7 miliar.
Adapun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut dari pungutan ekspor, dibutuhkan harga referensi minyak sawit rata-rata sebesar US$930 per ton, dengan catatan kinerja ekspor CPO tidak terganggu.
Volume ekspor CPO Indonesia pada 2024, padahal, hanya mencapai 21,6 juta ton alias terjerembap 17,33% dari realisasi tahun sebelumnya.
“Indonesia sangat mungkin mencapai mandatori B40 pada 2025 karena ada pertumbuhan yang kuat dalam produksi minyak sawit, dengan sekitar 1,8 juta metrik ton tersedia untuk produksi biodiesel,” tulis laporan tersebut.
Menurut catatan S&P, RI berhasil mengumpulkan US$2,3 miliar dari pungutan ekspor CPO pada 2023 dan mendanai biodiesel B35 sebesar US$1,37 miliar dalam bentuk “subsidi”.

Di dalam laporannya, S&P juga memperkirakan permintaan biodiesel B40 mencapai 12 juta ton pada 2025, naik dari realisasi konsumsi B35 sebanyak 10 juta ton tahun lalu.
“Permintaan tambahan untuk biodiesel yang diakibatkan oleh peningkatan mandat pencampuran akan menunjukkan tambahan 1,9 juta metrik ton minyak sawit yang akan dialihkan untuk produksinya,” tulis mereka
Ketersediaan CPO sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel juga dinilai tidak akan menjadi masalah, lantaran produksi diperkirakan meningkat dari 48,0 juta metrik ton pada 2024 menjadi 50,1 juta metrik ton pada 2025.
Prospek peningkatan produksi CPO tersebut ditopang oleh potensi pemulihan tingkat hasil panen di tengah prospek cuaca yang membaik dan ketersediaan pupuk yang lebih baik.
Sekadar catatan, Indonesia menyumbang 60% produksi minyak sawit secara global, diperkirakan mencapai 50 juta metrik ton, dan merupakan konsumen biodiesel terbesar di kawasan Asia-Pasifik.
Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya resmi mengimplementasikan program mandatori biodiesel B40, bahan bakar minyak berbasis sawit melalui Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024. Hingga April 2025, penyaluran B40 telah mencapai 4,3 juta kiloliter (kl).
Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, program B40 dapat menghemat devisa sebesar Rp147,5 triliun. Adapun, penghemetan devisa yang bisa dilakukan pada skema B35 sebesar Rp122,98 triliun.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)