Dalam konteks itu, keberhasilan China mengamankan konsentrat dalam jumlah besar menjadi angin segar bagi industri.
Permintaan domestik terhadap tembaga terbukti tetap solid di tengah perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, persaingan untuk memperebutkan pasokan kian memanas selepas Amerika Serikat (AS) mempercepat penyerapan logam menjelang ancaman tarif dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
“Smelter China lebih siap tahun ini,” ujar Li Chengbin, analis Mysteel Global. Menurut Chengbin, pelaku industri di China telah mengamankan lebih banyak volume melalui kontrak jangka panjang.
Dia menambahkan, ketersediaan bijih tambahan dari tambang raksasa PT Freeport Indonesia turut membantu, setelah perusahaan mendapat persetujuan ekspor pada Maret usai moratorium dua bulan.
Selain itu, penghentian produksi di smelter Glencore Plc di Filipina — imbas anjloknya biaya pengolahan — juga membebaskan pasokan konsentrat yang akhirnya mengalir ke China.
Sementara itu, biaya pengolahan terus terkoreksi seiring dengan permintaan smelter global yang melebihi pasokan.
Tarif spot sudah negatif sejak Desember — artinya pabrik harus membayar untuk memproses bijih — dan pada Jumat tercatat minus US$57,50 per ton, turun dari minus US$52,80 pada akhir April.
(bbn)































