Pada saat yang sama, rupiah bergerak menguat setelah pagi tadi dibuka lemah. Rupiah bahkan menjadi mata uang dengan penguatan terbanyak di Asia sampai jelang tengah hari ini dengan kenaikan nilai terhadap dolar AS mencapai 0,56% di level Rp16.443/US$. Rupiah tak terpengaruh data anjloknya posisi cadangan devisa pada April.
Penguatan rupiah sepertinya disokong oleh animo yang membesar di pasar surat utang domestik. Mengacu data OTC Bloomberg, mayoritas tenor Surat Berharga Negara (SBN) turun imbal hasilnya, mencerminkan kenaikan harga obligasi.
Yield 10Y turun 2 bps ini di 6,843%. Sedangkan tenor 5Y turun 1,1 bps bersama tenor 9Y yang tergerus yield-nya 2,2 bps. Investor asing mencatat net buy dua hari beruntun senilai hampir Rp2 triliun pada awal pekan ini.
Kenaikan harga obligasi tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh sinyal terakhir yang dilempar oleh Bank Indonesia yang berniat melonggarkan likuiditas di pasar melalui pengurangan nilai outstanding Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Erwin Hutapea kemarin.
Bank sentral juga menargetkan operasi moneter yang lebih ekspansif demi mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan melanjutkan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder untuk mendukung likuiditas pasar.
Dalam tiga lelang SRBI terakhir, tingkat bunga diskonto juga terus diturunkan oleh Bank Indonesia, menaikkan ekspektasi akan penurunan bunga acuan juga di tengah tren penurunan yield surat utang pemerintah di pasar sekunder.
Sinyal BI itu sepertinya membuat para pedagang di pasar obligasi menepis kekhawatiran akan potensi defisit fiskal yang membengkak akibat penerimaan pajak terindikasi anjlok.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 20-21 Mei nanti. Itu akan menjadi RDG setelah data pertumbuhan ekonomi kuartal 1-2025 anjlok lebih buruk ketimbang ekspektasi pasar.
Khawatir stagflasi
Lanskap pasar hari ini diwarnai oleh hasil FOMC Federal Reserve, bank sentral AS, yang sesuai ekspektasi pasar yakni menahan tingkat bunga di level 4,5%.
Pasar mendapati adanya risiko stagflasi yang lebih besar dari sinyal yang dilempar oleh Jerome Powell. Stagflasi yakni kondisi ketika inflasi tinggi di tengah perekonomian tumbuh lemah terindikasi dari pengangguran yang membesar.
Powell dalam pernyataannya usai mengumumkan keputusan FOMC menahan suku bunga kebijakan di level 4,5%, enggan memberikan petunjuk akan peluang penurunan bunga acuan The Fed ke depan. Malahan, The Fed menggarisbawahi peningkatan risiko inflasi serta tingkat pengangguran.
The Fed menilai ketidakpastian prospek ekonomi ke depan sudah meningkat lebih besar di mana risiko pengangguran kini lebih tinggi di tengah potensi inflasi yang juga meningkat.
Stagflasi AS bisa berdampak pada perekonomian di seluruh dunia. Inflasi yang masih tinggi akan menyulitkan The Fed melonggarkan kebijakan. Sementara kelesuan ekonomi akan melahirkan lebih banyak pengangguran.
Sementara perkembangan terakhir perihal isu tarif, AS dan Tiongkok berencana bertemu akhir pekan ini.
Presiden Donald Trump mengatakan ia juga berniat mengadakan konferensi pers pada Kamis pagi waktu setempat untuk mengumumkan "PERJANJIAN PERDAGANGAN UTAMA DENGAN PERWAKILAN NEGARA BESAR DAN SANGAT DIHORMATI."
Melalui unggahan di Truth Social, Trump menyebut konferensi pers di Ruang Oval dijadwalkan pada pukul 10 pagi waktu Washington. Meski begitu, ia tak menjelaskan negara mana yang dimaksud.
The New York Times melaporkan kesepakatan tersebut akan dilakukan dengan Inggris Raya, mengutip tiga narasumber yang mengetahui rencana tersebut, meski rinciannya belum jelas. Poundsterling terus menguat setelah laporan tersebut.
(rui)































