Logo Bloomberg Technoz

Kehati-hatian ini mencerminkan tantangan lebih dalam bagi para pembuat kebijakan di China. Tanpa keyakinan masyarakat terhadap prospek pekerjaan dan gaji, sektor konsumsi domestik tidak akan mampu menopang transisi ekonomi China dari ketergantungan pada ekspor. Hal ini dapat menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tahun ini, kecuali pemerintah menambah dukungan kebijakan secara agresif.

Trump telah menerapkan tarif sebesar 145% terhadap ekspor China, sementara Beijing membalas dengan tarif 125% terhadap produk AS. Tarif setinggi ini berisiko mengacaukan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia. Dampaknya mulai terasa, dengan aktivitas manufaktur China anjlok ke level kontraksi terdalam sejak Desember 2023 pada bulan lalu.

Menghadapi ketidakpastian tersebut, bank sentral China pada Rabu mengumumkan serangkaian langkah dukungan, termasuk pemotongan suku bunga, suntikan likuiditas jangka panjang, serta bantuan bagi eksportir dan usaha kecil. Langkah ini diambil menjelang pertemuan perdagangan yang akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri He Lifeng bersama Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer.

Gordon Gao, pemilik usaha kerajinan bambu di Provinsi Anhui, mengatakan bahwa pesanan dari AS — yang sebelumnya menyumbang sepertiga pendapatan bisnisnya — kini benar-benar hilang sejak tarif diberlakukan. Untuk bertahan, ia berhenti mengganti karyawan yang keluar dan memotong bonus pegawai. “Saya mungkin harus terus mengecilkan usaha dan memangkas lebih banyak tenaga kerja,” katanya.

Konsumsi rumah tangga. (Sumber: Bloomberg)

Para ekonom memperingatkan bahwa dampak tarif ini bisa meluas. Nomura Holdings Inc memperkirakan bahwa jika ekspor ke AS turun hingga setengahnya, sebanyak 15,8 juta pekerjaan bisa terancam. Goldman Sachs Group Inc menyebut angka serupa, yakni 16 juta pekerjaan, terutama di sektor peralatan komunikasi, pakaian, dan bahan kimia. Penghapusan pengecualian tarif “de minimis” juga diperkirakan akan memukul sektor ritel dan logistik.

Meskipun data resmi menunjukkan sedikit penurunan tingkat pengangguran di kota, banyak pekerja yang merasa kondisi di lapangan jauh lebih buruk.

Li Yifeng (29 tahun), perencana produksi di perusahaan alat kesehatan di Shenzhen, mengaku cemas akan kehilangan pekerjaannya kurang dari setahun setelah ia bergabung, seiring menurunnya pesanan. Keluarganya — termasuk istrinya yang baru saja diberhentikan dari pekerjaan sebagai guru TK, serta orang tuanya yang sudah lanjut usia dan hidup dari pensiun kecil — bergantung pada gaji bulanannya sebesar 7.500 yuan.

“Saya menghitung setiap pengeluaran dengan sangat hati-hati,” ujar ayah dari seorang anak laki-laki berusia satu tahun ini. Kini, pengeluaran keluarga dibatasi di bawah 3.000 yuan per bulan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, susu bayi, dan listrik, sementara sisanya ditabung.

Sekitar selusin konsumen yang disurvei Bloomberg bulan lalu menyebut stabilitas penghasilan sebagai faktor utama dalam keputusan belanja mereka, disusul subsidi untuk belanja dan anak, serta akses terhadap cuti tahunan berbayar.

Para pembuat kebijakan mengakui tekanan yang terus meningkat terhadap dunia kerja. Dalam rapat penting bulan lalu, Politbiro Partai Komunis menetapkan stabilisasi lapangan kerja sebagai prioritas. Pemerintah berjanji memperluas perekrutan di sektor teknologi, infrastruktur, dan jasa, serta memberikan insentif pajak, subsidi, dan pelatihan untuk membantu perusahaan mempertahankan pekerjanya dan mendukung kelompok rentan seperti lulusan baru dan buruh migran.

Menjaga lapangan kerja sangat penting bagi upaya Presiden Xi Jinping dalam menggeser model pertumbuhan ekonomi China dari yang selama ini bertumpu pada investasi dan ekspor menjadi berbasis konsumsi domestik. Namun, transformasi ini terbukti tidak mudah. Ekonomi China masih bergulat dengan krisis properti yang berkepanjangan, rendahnya kepercayaan konsumen dan pelaku usaha, serta tekanan deflasi.

Sentimen konsumen yang lemah kembali terlihat pada libur Hari Buruh baru-baru ini, dengan pertumbuhan penjualan ritel dan makanan/minuman yang lebih lambat dari tahun lalu. Pendapatan box office bahkan turun lebih dari setengah. Meski jumlah wisatawan meningkat, pengeluaran rata-rata per orang masih 10% di bawah periode yang sama tahun 2019, sebelum pandemi.

Pergeseran dari kebijakan berbasis pasokan akan menjadi perubahan besar dalam sistem ekonomi China. Konsumsi hanya menyumbang sekitar 40% dari produk domestik bruto (PDB) — jauh di bawah porsi 50% hingga 70% di negara-negara maju. Sementara itu, investasi — sebagian besar di sektor manufaktur — menyumbang 40%, dua kali lipat dari proporsi di AS dan tergolong tinggi secara global.

Para analis mengatakan langkah-langkah jangka pendek saja tidak cukup untuk membalikkan keadaan. Untuk mendorong konsumsi, masyarakat perlu merasa aman secara finansial dalam jangka panjang, kata Lu Feng, profesor emeritus ekonomi dari Sekolah Pengembangan Nasional Universitas Peking, salah satu lembaga pemikir negara paling berpengaruh.

“Karena keyakinan konsumen yang belum pulih, pendapatan tetap rumah tangga harus meningkat agar keinginan untuk menabung berkurang,” ujar Lu. Ia mencontohkan peningkatan signifikan dan rutin terhadap dana pensiun bagi petani dan lansia pengangguran di kota sebagai bentuk reformasi yang dapat mendongkrak keyakinan konsumen.

Konsumsi rumah tangga China. (Sumber: Bloomberg)

Lu percaya bahwa guncangan akibat perang dagang ini bisa menjadi dorongan bagi China untuk menjalankan reformasi yang sudah lama tertunda dalam hal distribusi pendapatan. Sektor publik saat ini menguasai dana yang setara dengan 45% dari PDB — sebagian besar masih dialokasikan ke proyek berbasis investasi. Mengalihkan hanya 10% dari dana tersebut ke rumah tangga, pensiun, dan layanan publik bisa memperkuat jaring pengaman sosial dan membangun ekonomi yang lebih seimbang, katanya.

Namun beberapa pengamat tetap skeptis bahwa Beijing akan segera mengambil langkah sejauh itu. Logan Wright, Direktur Riset Pasar China di Rhodium Group, mengatakan ujian sejati terhadap komitmen China untuk beralih ke model konsumsi adalah keberanian untuk mereformasi sistem perpajakannya.

Tarif dari Trump, tambahnya, justru bisa mempersulit reformasi dengan menggerus pendapatan dari perdagangan dan menekan keuangan negara.

“China mengandalkan model pertumbuhan berbasis investasi untuk memungut pajak. Mereka belum memungut pajak dari konsumsi domestik, sektor jasa, atau pajak penghasilan individu,” kata Wright. “Sampai sistem itu berubah, pergeseran nyata menuju pertumbuhan berbasis konsumsi masih jauh dari kenyataan.”

(bbn)

No more pages