Kemudian, ada juga pemberlakuan relokasi pabrik dengan alasan ingin mencari wilayah dengan pemberian upah yang lebih murah, termasuk adanya kasus hubungan perselisihan industrial.
"Ada juga efisiensi. Perusahaannya tetap berjalan, namun mengurangi jumlah pekerja; lalu ada yang lakukan transformasi dan perubahan bisnis; kemudian, terakhir pailit karena beban atau kewajiban kepada kreditur dan seterusnya," tutur Yassierli.
"Jadi, penyebab PHK juga beragam. Kalau ditanya mitigasinya, kita juga harus melihat case by case-nya seperti apa."
Hingga 23 April tahun ini, Kemnaker sendiri telah mencatat setidaknya ada 24.036 orang yang sudah kehilangan pekerjaan, atau hampir sepertiga dari total PHK yang tercatat sepanjang 2024, sebanyak 77.965 orang.
Jumlah pekerja terbanyak yang mendapatkan PHK berada di Provinsi Jawa Tengah, kemudian disusul Provinsi DK Jakarta. Sementara, di posisi ketiga adalah Provinsi Riau. "Saat ini sudah terdata adalah sekitar 24 ribu [orang terkena PHK]. Jadi sudah sepertiga lebih dari tahun 2024," kata Yassierli.
Sementara itu, dari sisi sektor usaha, industri pengolahan menjadi sektor yang paling banyak melakukan PHK dengan total mencapai 16.801 orang. Posisi kedua, sektor perdagangan besar dan eceran dengan total 3.622 orang. Sektor aktivitas jasa lainnya juga tercatat cukup tinggi di posisi ketiga mencapai 2.012 orang.
(ain)
































