“Nah ini berarti kan ini harus ada sistem pengawasan dari pemerintah daerah terkait hal ini. Jadi kita menyadari bahwa dari aspek penyiapan produk ketersediaan industri, akomodasinya mungkin ada di penambahan,”ungkapnya.
Rizki mengatakan strategi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) akan melakukan pendataan secara detail mengenai okupansi rate dari jumlah hotel, dan akomodasi lainnya.
“Kemudian melakukan koordinasi lagi dengan daerah-daerah karena kan perizinan khususnya yang hotel yang risiko menengah rendah dan rendah itu kan ada di pemerintah provinsi dan kabupaten,”ungkapnya.
“Sebenarnya kita juga nanti akan bertemu dengan Kementerian BKPM untuk menelaah kembali kaitannya dengan persyaratan yang ada di OSS yang untuk risiko rendah,”.
Menurut Rizki, risiko kawasan rendah yang berada di kabupaten tentunya sangat mudah untuk membangun perumahan, namun ada oknum yang memanfaatkan hal tersebut sebagai penyewaan akomodasi tanpa izin.
“Sebenarnya semangatnya memang untuk memudahkan masyarakat untuk membangun perumahan, membangun rumah,” katanya.
“Namun demikian banyak yang menjadi lubang dan dimanfaatkan oleh orang-orang untuk membangun akomodasi yang disewa-sewakan di akomodasi perintah,”.
Dikonfirmasi secara terpisah oleh Bloomberg Technoz, Kepala Dinas Pariwisata Tjok Bagus Pemayun mengatakan mengenai okupansi hotel Bali rendah meski banyak wisatawan telah dilakukan pertemuan bersama Kementerian Pariwisata dan parfa pengusaha hotel.
Dari diskusi tersebut, Tjok mengatakan ada usulan dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) agar okupansi hotel di Bali meningkat yaitu dengan menaikan rata-rata lama menginap wisatawan.
“Berarti kalau 10 hari di Bali, berarti 10 hari dia rata-rata lama tinggal,” kata Tjok.
“Tapi kalau BPS ngambil rata-rata lama tinggal itu di hotel, misalnya saya bisa tahu 10 hari di Bali, 5 hari di hotel A, 5 hari di hotel B, jadi kelihatan 5 hari rata-rata lama tinggalnya. Pengertian itu kemarin sempat diusulkan oleh PHRI,” sambungnya.
(dec/spt)































