Selain pemerintah daerah, Eniya juga mengumpulkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemuka agama, hingga ahli untuk memberikan masukan terkait dengan pembangunan PLTP di wilayah Flores.
“Bupati ada yang semi setuju, ada yang semi enggak [pembangunan PLTP]. Kami tampung semua. Dari pihak sosial, jadi yang dari LSM, terus ada pakar juga yang dari UGM,” ujarnya.
Sekadar catatan, Kementerian ESDM bakal menjadikan Flores sebagai pulau panas bumi atau geothermal island karena berlimpahnya potensi sumber daya untuk pengembangan PLTP.
Menurut Eniya, isu negatif terkait proyek PLTP lebih masif tersiar di masyarakat dibandingkan manfaat panas bumi.
Potensi panas bumi di NTT padahal sangat besar untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, dan lebih cocok menggantikan bahan bakar fosil dibandingkan pembangkit air dan solar.
"Mudah-mudahan Flores itu Insya Allah kita bisa jadikan geothermal island. Jadi di situ panas buminya luar biasa, kalau bicara diesel, beban subsidi negara satu tahun hanya untuk Flores saja untuk substitusi BBM adalah Rp1 triliun," ujarnya.
Selain di Flores, dia mengatakan isu sosial yang menyoal PLTP juga muncul di Mataloko, NTT. Di wilayah tersebut masih ada manifestasi kolam lumpur yang belum ditutup dan membutuhkan biaya hingga US$5 juta.
(mfd/naw)































