Adapun, Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.
Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x110 MW. PLTN tersebut akan dibangun pada 2030 dan 2031. Adapun tarif listrik diperkirakan di rentang US$150 per MWh sampai dengan US$190 per MWh.
Selain itu, Rosatom juga mengusulkan untuk membangun dua PLTN skala besar di Bangka Belitung dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas masing-masing 2x1.200 MW.
PLTN tersebut akan dibangun secara bertahap mulai pada 2037 untuk unit I, 2038 untuk unit II, 2039 untuk unit III, dan 2040 untuk unit IV. Rosatom mengajukan perkiraan tarif listrik untuk pembangkit yang disebut terakhir sekitar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Kedua proposal pengembangan nuklir yang disampaikan Rosatom itu memiliki kapasitas terpasang mencapai 5 gigawatt (GW) sampai dengan 2040 mendatang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan Rusia telah lama memiliki keinginan untuk investasi PLTN di Indonesia.
Hanya saja, kata Dadan, pemerintah mesti mempertimbangkan sejumlah hal untuk menindaklanjuti investasi pembangkit setrum berbasis nuklir tersebut.
“Iya sampai sekarang belum kejadian, kalau nuklir kan panjang bukan lama ya tapi kita harus komprehensif mempertimbangkannya, termasuk aspek regulasi,” kata Dadan ditemui di sela Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia, Selasa (15/4/2025).
Salah satu produsen energi nuklir terbesar dunia, Rusia menghasilkan kapasitas pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 215.746 TWh per 2020, menurut data Rosatom. Jumlah tersebut setara dengan 20,28% dari total pembangkit listrik di Negeri Beruang Merah. Adapun, kapasitas terpasang bruto reaktor nuklir Rusia mencapai 29,4 GW.
Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo juga membahas peluang kerja sama PLTN modular dengan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Tony Blair.
Pertemuan itu disebut membahas mengenai peluang kerja sama investasi dan transfer teknologi di bidang nuklir untuk 15 tahun mendatang dengan Inggris.
Target Dipercepat
Dalam perkembangan terbaru, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan PLTN di Indonesia dapat beroperasi pada 2030 atau berpeluang lebih cepat dua tahun dari target komersialisasinya yang ditetapkan pada 2032 dan lebih awal dari rencana semula pada 2039.
“Untuk PLTN itu kita mulai on itu 2030 atau 2032. Jadi mau tidak mau kita harus melakukan persiapan semua regulasi yang terkait dengan PLTN," kata Bahlil dalam keterangan resmi.
Pemerintah memastikan rencana pengembangan PLTN bakal dimasukkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034.
Hal tersebut menjadi salah satu fokus utama dalam Sidang Perdana Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tahun 2025.
Bahlil menyebut dokumen RUPTL saat ini sudah dalam proses finalisasi dan akan segera disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Bahlil, PLTN merupakan energi baru yang murah, dan bisa dimanfaatkan untuk menguatkan sistem kelistrikan nasional. Selain itu, penggunaan nuklir juga akan mengurangi pemanfaatan energi listrik berbahan bakar fosil.
Namun, Bahlil menekankan bahwa pemanfaatan nuklir sebagai sumber pembangkit listrik harus diimbangi dengan sosialisasi kepada masyarakat secara masif sehingga masyarakat memahami pemanfaatan nuklir.
(mfd/naw)






























