“Mari kita pikirkan hal ini, Versace—merek global berusia 47 tahun—dijual minggu lalu ke Prada seharga US$1,25 miliar. eFishery pernah bernilai lebih dari itu... Aneh dan tidak masuk akal [di dunia startup],” tambahnya.
Dengan demikian, alih-alih fokus pada pembangunan fondasi bisnis yang sehat, banyak startup kini justru berlomba menunjukkan hacking, hanya demi meraih pendanaan berikutnya.
Fenomena ini tentunya dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor terkait keberlanjutan model bisnis perusahaan-perusahaan tersebut.
Dengan pecahnya bubble valuasi, kini model bisnis berkelanjutan semakin menjadi perhatian para investor startup, meninggalkan konsep valuasi yang pada beberapa kasus terbukti secara sengaja dilebih-lebihkan, lantas menciptakan ekspektasi tidak realistis.
Ujungnya, banyak perusahaan akhirnya gagal memenuhi target yang mereka tetapkan sendiri dan merugikan para investor.
Tubagus Syailendra, CEO startup bidang Agrikultur, Chickin, menerangkan bahwa lanskap industri startup tidak lagi sama. Pada awalnya, pendiri sebuah startup menikmati fase honeymoon saat suku bunga global, terutama di Amerika Serikat, berada di titik rendah.
Namun, dengan meningkatnya biaya dana (cost of capital), validasi terhadap nilai uang menjadi lebih ketat, kemudian, startup yang tidak memiliki dasar bisnis yang kuat kini mulai menghadapi tekanan besar.
“Kita lihat, banyak startup nggak cuma di industri kita saja, agrikultur, tapi semua startup sudah melewati fase happy-happy ketika dulu better cost of rate sangat rendah di Amerika. Kini setelah semua meningkat, bahwa value of money pada akhirnya telah tervalidasi di startup. Dan beruntung Chickin itu bukan company of value,” cerita Tubagus.
Ia melanjutkan, tantangan besar bagi startup adalah memberikan pengembalian yang sehat kepada para investor. Banyak investor yang berinvestasi di unicorn atau startup dengan valuasi besar, tetapi akhirnya kesulitan untuk keluar (exit). Alasannya, valuasi perusahaan terlalu tinggi dan tidak relevan dengan kondisi pasar.
Hal ini membuat startup kehilangan daya tarik di pasar modal, terutama bagi investor ritel. Ditegaskan Tubagus, industri hari ini wajib fokus pada penciptaan ekosistem permodalan yg baik. Alhasil, “semua orang bisa melihat kalau value yg di investasikan itu sesuai.”
Berkaca pada kasus eFishery, Managing Director OCBC Ventura, Darryl Ratulangi berpendapat, skandal semacam ini bisa menjadi “wake-up call”. Penilaian oleh investor harus lebih cermat atas sebuah proposal pendanaan startup.
Ia memprediksi, dalam jangka pendek, investor diperkirakan akan lebih selektif dalam memilih startup di sektor akuakultur. “Kalau di beberapa bulan atau satu tahun ke depan pasti investor akan lebih takut. Transaksi investasi akan lebih lama,” jelas Darry.
Untuk diketahui, pendiri eFishery, Gibran Huzaifah, dalam laporan investigatif Bloomberg, mengakui telah membuat dua versi laporan keuangan, di mana satu laporan asli untuk internal, dan satu laporan versi yang digelembungkan untuk menarik investor. Praktik ini, menurut pengakuannya, telah berlangsung selama beberapa tahun, dengan puncaknya adalah klaim pendapatan fiktif sebesar US$752 juta dalam sembilan bulan pertama 2024. Padahal, angka sebenarnya hanya sebesar US$157 juta.
“Pada saat itu saya hanya berpikir untuk bertahan,” kata Gibran dalam wawancaranya, seraya menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh pihak terdampak, terutama para petani sebagai pengguna utama layanan eFishery.
(wep)

































