"Mengingat paparan perdagangan globalnya yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona "Goldilocks" di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro yang didorong domestik," papar Satria.
Dalam 3 hari terakhir, pertumpahan darah pasar ekuitas paling parah terjadi di negara-negara yang sangat terpapar pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan. Tolak ukur ekuitas di negara berkembang yang didorong domestik, seperti India dan Malaysia, menurut dia, sebenarnya unggul dengan penurunan kurang dari 8%.
Saat ini, dengan level Rp17.000 per dolar AS, rupiah telah terdepresiasi sebesar 11% dalam enam bulan terakhir dan ini sebenarnya menawarkan lindung nilai alami terhadap tarif AS. Depresiasi rupiah telah terjadi di tengah pelemahan umum dalam indeks dolar/DXY, dengan sebagian besar mata uang Asia sebenarnya terapresiasi baru-baru ini.
"Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing," ungkap Satria.
"Kami memperkirakan tarif AS yang baru akan memberikan dampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025," tambah dia.
Sebaliknya, margin perusahaan mungkin terkena dampak positif, karena rupiah telah terdepresiasi sebesar 5% dalam sebulan, tetapi harga minyak -- yang merupakan biaya input utama bagi perusahaan Indonesia-- telah turun sebesar 15%.
"Oleh karena itu, aksi jual mendatang akan memberikan titik masuk yang lebih menarik untuk mengumpulkan pilihan utama kami: BBRI, BRIS, ANTM, ADHI, CTRA, dan GOTO," sebut dia.
Perkembangan Ekonomi Makro Global
Pada sisi makro global, Satria menyarankan untuk mengikuti likuiditas karena itu lebih penting daripada fundamental. Kali ini, pemulihan pasar yang kuat dapat berasal dari potensi lonjakan likuiditas M2 dengan bank sentral AS Federal Reserve dan bank sentral global yang bersiap untuk pemotongan suku bunga yang agresif, atau bahkan pelonggaran moneter (quantitative easing) baru.
Pada 2020, pasar mengalami reli meskipun laba perusahaan mengalami kemunduran — sekarang pada 2025, dia menilai ekuitas mungkin masih akan bangkit kembali meskipun AS mengalami stagnasi.
"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden AS Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan, sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," kata dia.
Di AS, pasar saham penting secara politik dan ekonomi untuk konsumsi domestik. Baru-baru ini, alokasi ekuitas rumah tangga AS menembus level tertinggi sepanjang sejarah sebesar 40%. Sebagai perbandingan, investasi saham hanya mencakup kurang dari 10% kekayaan bersih rumah tangga di Tiongkok, Jepang, dan Inggris.
(lav)






























