Logo Bloomberg Technoz

Dia menambahkan proyek hilirisasi batu bara tersebut akan kembali dirapatkan secara teknis dalam waktu dekat, termasuk membahas pengecekan teknologi yang akan digunakan.

Ide gasifikasi batu bara menjadi DME pada pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah dipasrahkan pemerintah ke PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), dengan bantuan investasi dari Air Products & Chemical Inc (APCI) asal Amerika Serikat (AS).

Proyek itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.

Namun, pada medio 2023, APCI hengkang dari proyek tersebut untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS. Keputusan hengkang tersebut lantas membuat kelanjutan nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terkatung-katung hingga saat ini. 

Banjir Kritik

Proyek ini sebelumnya menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, lantaran dinilai  tidak ekonomis jika ditujukan untuk substitusi impor LPG yang nilainya mencapai sekitar Rp7 triliun per tahun.

Dari kalangan pengusaha tambang, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia/Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia pernah mengatakan gasifikasi batu bara menjadi DME adalah proyek yang sangat mahal.

“Untuk mengonversi batu bara menjadi gas, misalnya menjadi DME, ini kan ada teknologinya. Teknologinya kita tidak punya. Di dunia pun teknologinya tidak banyak, karena itu dia mahal,” kata Hendra saat ditemui pada sebuah kesempatan belum lama ini.

Nah, ini yang seharusnya menjadi bahan pemikiran buat pemerintah. Kalau untuk mengolah batu bara, tetapi perusahaan diwajibkan begitu; itu tidak akan ekonomis."

Lima Proyek Hilirisasi Batu Bara yang Disetujui Pemerintah (Bloomberg Technoz/Asfahan)

Hendra berpendapat jika pemerintah memaksakan investasi gasifikasi batu bara menjadi DME sebagai program mandatori bagi perusahaan batu bara, tidak menutup kemungkinan pula produk substitusi yang dihasilkan justru bakal lebih mahal dari LPG.

Walhasil, hal tersebut malah akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pemerintah mengembangkan DME untuk menekan anggaran impor dan subisidi LPG

“Kalau dia jual produk DME, nanti kan akan menggantikan LPG, nah itu bagaimana harga DME-nya ditetapkan? Itu kan juga tidak mudah kalau harganya tidak ekonomis. Ngapain orang beli DME? Dia mending beli LPG. Ngapain orang investasi di situ kalau harganya enggak menarik?” kata Hendra.

Setala, Penasihat Khusus Presiden urusan Energi Purnomo Yusgiantoro mengatakan netback dari DME, sebagai produk akhir dari hilirisasi batu bara, tidak bisa bersaing dengan LPG yang berasal dari impor dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Sekadar catatan, nilai netback adalah probabilitas harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen atau pembeli untuk mendapatkan sumber energi tertentu.

Masalah tersebut lah yang melandasi hengkangnya APCI dari proyek penghiliran batu bara menjadi DME oleh Bukit Asam, yang menyebabkan megaproyek substitusi impor LPG itu terkatung-katung hingga saat ini.

“Ada satu studi, kenapa kok [APCI] pull out di Sumatra Selatan? Dihitung netback. Dihitung kalah [bersaing dengan LPG impor]. Kecuali harga batu bara di itu US$15/ton. Kalau ini US$15 dia compatible dengan harga LPG,” ujar Purnomo dalam agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, akhir Oktober.

Purnomo menggarisbawahi perbandingan antara LPG dengan DME—yang sebenarnya juga digadang-gadang sebagai pengganti LPG — tidak berada pada level yang sama atau apple to apple.

Kerugian Negara

Dari kalangan ekonom, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengeklaim—berdasarkan riset lembaganya — negara berpotensi kehilangan pendapatan royalti senilai Rp33,8 triliun per tahun jika hilirisasi batu bara menjadi DME tetap dipaksakan.

“Hasilnya apa? Hasilnya negara itu berpotensi kehilangan setoran royalti Rp33,8 triliun per tahunnnya. Karena apa? Karena hilirisasi batu bara ini diberikan insentif 0% royalti dalam Undang-undang Cipta Kerja [UU Ciptaker],” ujarnya, akhir pekan lalu.

Bhima berpendapat jika Indonesia tetap mendorong proyek DME batu bara yang mahal secara keekonomian dan membutuhkan biaya besar, ujung-ujungnya pemerintah akan terpaksa memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi di proyek ini.

“Insentifnya adalah royalti 0%. Berarti ada kehilangan tuh Rp33,8 triliun estimasinya per tahun.”

Gasifikasi Batu Bara Nyaris Mangkrak, ESDM Siapkan 3 Insentif Ini (Ilustrasi/Bloomberg Technoz)

Dia pun menekankan agar hilirisasi batu bara tidak malah membebani keuangan negara dengan bertambahnya pos subsidi gas untuk proses gasifikasi menjadi DME.

“Proyek yang didanai tidak boleh menimbulkan konsekuensi penambahan beban APBN, misalnya dalam bentuk subsidi gas di proyek gasifikasi batu bara [DME],” katanya.

Tidak hanya itu, dia mengatakan karakter tambang batu bara di Indonesia, yang didominasi oleh pertambangan terbuka (open pit), tidak sesuai untuk proyek gasifikasi yang dinilai lebih cocok untuk tambang tertutup (close pit) atau bawah tanah (underground).

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno juga meminta pemerintah mengkaji ulang ihwal proyek hilirisasi prioritas khususnya gasifikasi batu bara menjadi DME, karena proyek tersebut sempat terkendala karena dinilai tidak ekonomis pada pemerintahan sebelumnya.

“Ke depan, para pengambil kebijakan melakukan kajian lebih lanjut untuk memastikan agar keekonomian produk DME lebih murah dibandingkan LPG. Kajian ini penting untuk memastikan kebijakan hilirisasi batu bara dapat mengurangi impor dan memperkuat ketahanan energi nasional,” kata Eddy dalam keterangannya, dikutip Senin (10/3/2025).

Senada dengan pendapat Purnomo, Eddy menyebut jika impor LPG masih lebih murah dibandingkan dengan produksi DME, sebaiknya pemerintah mengkaji peningkatan kapasitas produksi LPG dalam negeri ketimbang membangun fasilitas produksi DME. 

Paling tidak, hal ini akan mengurangi impor LPG secara signifikan sehingga tidak menguras devisa.

“Jika pada masa mendatang teknologi produksi DME menjadi lebih terjangkau, kita bisa melangkah untuk melakukan hilirisasi batu bara,” ujar Anggota Komisi XII DPR tersebut.

Eddy menjelaskan saat memimpin Komisi VII-mitra Kementerian ESDM- pada periode 2019—2024, hilirisasi batu bara menjadi DME terbentur pada kendala utama yakni keekonomian dari produk jadi yang dihasilkan.

Bahan baku yang digunakan untuk diproses menjadi DME merupakan batu bara dengan kandungan kalori yang baik sehingga biaya yang dibutuhkan cukup tinggi.

“Karena feedstock batu bara yang digunakan berkalori 4.000—4.200 ccal, biaya bahan bakunya relatif tinggi. Dengan demikian, ketika melalui proses produksi menjadi DME, harga barang jadinya menjadi mahal dan bahkan dalam hitungan kami bisa lebih mahal daripada impor LPG,” tuturnya. 

“Tujuan kita memproduksi DME padahal justru untuk mensubstitusi penggunaan LPG.”

Eddy menegaskan kendala dan perhitungan keekonomian pada saat itu yang membuat kebijakan hilirisasi batu bara ini akhirnya tidak berlanjut. Alhasil, dua perusahaan pelat merah dan satu perusahaan swasta hengkang dari proyek tersebut.

“Kendala keekonomian ini membuat dua BUMN kita, serta salah satu perusahaan batu bara swasta nasional membatalkan investasi dengan perusahaan Air Products dari Amerika yang memang ahli dalam proses hilirisasi batu bara,” ucap Eddy.

-- Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama

(wdh)

No more pages