Penguatan rupiah offshore kemarin ketika the greenback luruh, bisa memberi dorongan pada rupiah di pasar spot untuk melanjutkan reli, setelah pada perdagangan Rabu ditutup di Rp16.313/US$.
Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, mayoritas valuta juga menguat dipimpin oleh ringgit yang menguat 0,39%, lalu baht 0,14%, won 0,12%, juga dolar Singapura 0,02%. Sedangkan yen melemah sendirian 0,05% pada pagi ini.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren penguatan menuju area Rp16.280/US$ sampai dengan break MA-50 hingga Rp16.250/US$, dengan mencermati resistance potensial rupiah pada Rp16.200/US$.
Sementara trendline sebelumnya pada time frame daily menjadi support psikologis potensial pada level Rp16.350/US$. Target pelemahan lanjutan untuk kembali ke level Rp16.400/US$.
Selama rupiah bertengger di atas Rp16.200/US$ usai keberhasilan menguat dalam tren jangka menengah (Mid-term), maka masih ada potensi bagi mata uang ini menguat hingga Rp16.110/US$.
Obligasi Jerman rontok
Kemarin AS merilis sejumlah data penting yang menunjukkan ekspektasi inflasi meningkat dan perekonomian terbesar di dunia itu melambat.
Data ADP National Employment menunjukkan rekrutmen tenaga kerja di sektor swasta melambat tajam pada Februari dengan penambahan hanya 77.000 tenaga kerja, jauh di bawah ekspektasi pasar 140.000 dan anjlok dibanding bulan lalu sebesar 186.000 tenaga kerja.
Data yang dirilis oleh Institute for Supply Management juga mencatat indeks layanan naik ke level 53,5 pada Februari. Begitu juga indeks ISM lainnya semua di atas ekspektasi paar.
Sementara Purchasing Manager's Index (PMI) jasa S&P Global untuk AS, kembali ke zona ekspansi pada bulan lalu, melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan masih terjebak di zona kontraksi.
Dari Eropa, pasar obligasi Jerman mengalami hari terburuk mereka sejak Tembok Berlin runtuh. Harga Bund, obligasi pemerintah Jerman rontok, dengan imbal hasil melompat naik gila-gilaan hingga 30 basis poin, tertinggi sejak 1990.
Guncangan di pasar obligasi Jerman terjadi setelah calon kanselir, Friedrich Merz, menguraikan perombakan fiskal besar-besaran pada Selasa malam. Euro menguat ke level yang belum pernah terlihat sejak November.
Jerman mengumumkan rencana amandemen konstitusi dengan mengecualikan belanja militer dari persyaratan debt brake. "Bila disetujui, pemerintah baru Jerman di bawah calon Kanselir Friedrich Merz akan memperoleh ruang fiskal EUR 500 miliar yang rencananya diinvestasikan di bidang infrastruktur," kata tim analis Mega Capital Sekuritas.
Yield obligasi Jerman naik tajam. Pada saat yang sama, indeks saham DAX juga naik 3,38%. Kebijakan fiskal Jerman berpotensi memicu inflasi di Eurozone yang berpeluang mendorong ECB mengurangi pemangkasan suku bunga acuan menjadi 50 basis poin. Hal itulah yang memicu penguatan euro terhadap dolar AS sebesar 1,50% dan menekan indeks dolar DXY hingga 1,4%.
Hari ini, pasar akan mencermati perkembangan dari Tiongkok setelah pengumuman target ekonomi nan ambisius memantik spekulasi terkait pengucuran stimulus lebih besar ke depan.
Presiden Xi Jinping mengisyaratkan tekad China untuk terus maju dengan target pertumbuhan yang ambisius tahun ini, meski ada perang dagang.
Malam nanti, pasar akan menunggu pengumuman kebijakan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB). Selain menanti pula data klaim pengangguran AS menjelang angka payroll bulanan yang akan dirilis pada Jumat.
Dari dalam negeri, pasar mungkin akan mulai menghitung risiko yang mungkin muncul di balik keterlambatan pengumuman kinerja keuangan negara Januari yang sampai saat ini belum dilakukan oleh Kementerian Keuangan RI.
Laporan Januari sangat dinantikan karena, pada bulan itu, Presiden Prabowo Subianto mulai memerintahkan kementerian-kementerian, lembaga-lembaga, dan pemerintah-pemerintah daerah meninjau kembali pengeluaran mereka dan membebaskan anggaran sebanyak Rp306,7 triliun rupiah uang negara.
Para investor sedang menunggu data terbaru “untuk mengukur dampak dari langkah-langkah fiskal baru-baru ini dengan lebih baik,” kata ekonom OCBC, Lavanya Venkateswaran, dilansir dari Bloomberg News.
Minimnya informasi terkait kondisi fiskal terbaru dapat mempengaruhi sentimen investor.
Ekonom Barclays Plc, Brian Tan, menyebut penundaan ini “tidak biasa”, dan mencatat bahwa hal ini mungkin hanya mencerminkan isu-isu seputar tinjauan anggaran yang sedang berlangsung.
(rui)































