Dalam kasus pemakzulan presiden sebelumnya, Mahkamah Konstitusi biasanya memberikan putusan dalam waktu dua minggu setelah sidang terakhir.
Keputusan Yoon untuk memberlakukan darurat militer telah memicu krisis konstitusional terbesar di Korsel dalam beberapa dekade. Tak lama setelah pemakzulan, perdana menteri juga diberhentikan sementara, meninggalkan Menteri Keuangan Choi Sang-mok sebagai pemimpin sementara. Kekosongan kepemimpinan ini telah melemahkan posisi Korsel dalam negosiasi perdagangan dengan Presiden AS Donald Trump, yang mengancam akan menerapkan tarif impor.
Sepanjang 10 sidang yang telah berlangsung, Yoon membantah melakukan kesalahan dan menyebut dirinya sebagai pendukung demokrasi. Presiden berusia 64 tahun itu juga membantah kesaksian dari para komandan militernya yang menyatakan bahwa ia memerintahkan pasukan untuk mengusir anggota parlemen yang berkumpul untuk membatalkan dekrit darurat militer.
Yoon dimakzulkan oleh parlemen yang dikuasai oposisi pada Desember lalu setelah secara singkat memberlakukan darurat militer—yang pertama dalam lebih dari 40 tahun di Korea Selatan. Dekrit tersebut merupakan langkah berisiko tinggi yang, menurut Yoon, bertujuan untuk mencegah Partai Demokrat (DP) yang beroposisi mencoba melumpuhkan pemerintahannya.
Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa pemimpin DP, Lee Jae-myung, menjadi kandidat terkuat jika pemilu mendadak harus digelar. Sementara itu, beberapa anggota Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang merupakan partai Yoon, kini bersaing untuk menjadi calon presiden dari partai mereka.
Namun, Lee juga menghadapi masalah hukum, dengan sidang terakhir kasus pelanggaran undang-undang pemilu yang menjeratnya dijadwalkan berlangsung minggu ini. Jika pengadilan banding menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan sebelumnya, ia berisiko didiskualifikasi dari pencalonan presiden.
Sebuah jajak pendapat mingguan oleh Gallup pada Jumat lalu menunjukkan bahwa 60% responden mendukung pemakzulan Yoon, sementara 34% menentangnya.
(bbn)

































