Dalam Pasal 3 beleid tersebut, sasaran penerima LPG 3 Kg masih bersifat general dan tidak spesifik. Ketentuan tersebut tidak mengalami perubahan, bahkan sejak program konversi minyak tanah ke LPG pada 2007. “Bahwa LPG 3 Kg ini diperuntukkan untuk rumah tangga dan usaha mikro.”
Kondisi itu yang menyebabkan terjadinya lonjakan konsumsi dan kuota LPG 3 Kg dari tahun ke tahun. Abra menyebut jika dibandingkan dengan 2014, kuota LPG 3 Kg hanya 4 juta metrik ton, tetapi angka itu meningkat menjadi 8,03 juta metrik ton pada 2024.
“Artinya sudah naik dua kali lipat, menggambarkan bahwa memang kebijakan itu hanya menyasar di sisi hilir, hanya bicara masalah bagaimana harga jual di masyarakat. Itu tidak menyelesaikan akar masalah utama,” jelas Abra.
Abra berpandangan pemerintah perlu memetakan kategori masyarakat yang berhak membeli LPG 3 Kg dengan mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan parameter pengeluaran misalnya dari Desil 1 hingga Desil 6.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dalam masa transisi seperti saat ini.
Ketentuan Harga
Di sisi lain, pemerintah juga dinilai perlu mengatur ketentuan harga yang dipatok oleh sub-pangkalan agar tidak melebihi harga eceran tertinggi (HET). Selama ini pengaturan harga LPG 3 kg hanya berlaku untuk pangkalan dan agen resmi saja.
Menurut Abra, Peraturan Menteri ESDM seharusnya dapat mengatur HET hingga tingkat pengecer atau sub-pangkalan untuk masuk menjadi bagian rantai distribusi. Dengan demikian, pemerintah bisa memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan juga penindakan bagi sub-pangkalan yang melanggar peraturan tersebut.
“[Semestinya] ada aturan margin fee-nya. Kalau selama ini sudah diatur di pangkalan nanti diatur sampai level di sub pangkalan,” ujarnya.
“Jadi [LPG 3 Kg] tidak boleh dijual di atas harga yang sudah ditetapkan. Kalau kemarin kan bahkan maksimum itu Rp19.000—Rp20.000 per tabung. Tentu itu harus bisa diikat dalam peraturan.”
Ketika HET di sub-pangkalan telah diatur, kata Abra, pemerintah juga perlu mengawasi bahkan perlu memberi sanksi bagi sub-pangkalan yang tidak mendistribusikan sesuai ketetapan yang diatur pemerintah. Otoritas perlu memiliki kanal aduan masyarakat agar warga bisa melaporkan ketika ada temuan di lapangan.
“Kalau ditemukan ada sub-pangkalan yang nakal, yang menyimpang dengan menjual harga [LPG 3 Kg] di atas HET, bisa ditindak. Kanalnya yang sudah disepakati seperti Whatsapp, website, aplikasi atau sebagainya, jadi harus ada banyak kanal,” ucap Abra.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengungkapkan bahwa sebanyak 370.000 pengecer yang terdaftar di aplikasi Pertamina otomatis naik status menjadi sub-pangkalan. Mereka sudah dibolehkan kembali menjual LPG 3 Kg setelah sempat dilarang sejak 1 Februari 2025.
Dengan mengubah pengecer menjadi sub-pangkalan, Bahlil yakin pemerintah akan lebih mudah mengendalikan peredaran dan harga pasaran LPG 3 Kg lantaran sistemnya terpantau melalui Pertamina.
Dia juga menggarisbawahi pengecer tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk bisa naik tingkat menjadi sub-pangkalan demi bisa menjual LPG 3 Kg.
“Saya menyadari bahwa ini kan barang baru. Pasti ada penyesuaian. Nanti sambil kita melihat perkembangan beberapa waktu ke depan, sudah pasti kita akan melakukan asistensi,” ujarnya, Selasa (4/2/2025).
“Akan tetapi, penataan ini penting kami lakukan sebagai bentuk cinta kami kepada rakyat agar uang negara yang disubsidi itu betul-betul tepat sasaran. Jangan ditikung di belakang.”
(mfd/wdh)






























